JAKARTA (Arrahmah.com) – Dilihat dari segi jumlah atau kuantitas, serangan “terorisme” meningkat setelah tahun 2009, Hal tersebut dikarenakan negara tidak mampu mencegah pengembangan jaringan “terorisme” dan penyebaran ideologi “radikal”, demikian yang diungkapkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Saya melihat bahwa trend terorisme saat ini dari segi kualitas serangan memang berkurang, tapi kuantitas serangan yang kecil itu justru lebih meningkat, terutama setelah 2009,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Brigjen (Pol) Tito Karnavian di Jakarta, Selasa (2/8/2011).
Tito berpendapat, serangan “teroris” dilihat dari segi kualitas terjadi pada Bom Bali I dan II. Namun sejak tahun 2005 sampai 2009, kuantitas serangan jauh berkurang bahkan hampir tidak ada. Tetapi kemudian serangan secara kontinuitas terbilang tinggi setelah tahun 2009.
Tito menyebutkan bahwa pada Juli 2009, Indonesia dikejutkan dengan pengeboman Hotel Ritz Carlton dan Marriot pada Juli 2009, pelatihan militer di Aceh pada awal 2010, perampokan di CIMB Medan pada pertengahan 2010, aksi bom bunuh diri Mapolresta Cirebon pada April 2011, kelompok “radikal’ di Ponpes Bima dan penembakan polisi di Palu pada Juni 2011, serta serangan beberapa masjid, gereja dan pos polisi di Jawa Tengah.
Bahkan jika dilihat dari jumlah tersangka yang ditangkap pun terjadi peningkatan. Tercatat ada 93 orang tersangka diproses hukum pada tahun 2003, meningkat menjadi menjadi 103 tersangka pada 2010.
“Pada 2011 ini, sudah ada 70 orang yang ditangkap. Padahal baru bulan Juli. Ini menunjukan problem terorisme di Indonesia masih belum selesai,” imbuhnya.
Menurut Tito masalah peningkatan kuantitas ini dikarenakan kelemahan negara dalam mencegah atau mengisolasi pengembangan jaringan “terorisme” dan penyebaran ideologi “radikal”.
“Negara sudah mampu membangun kekuatan untuk mengungkap jaringan, menangkap pelaku sehingga ratusan orang berhasil ditangkap dan diproses hukum. Namun, akar masalah, khususnya masalah penyebaran ideologi dan pengembangan jaringan terus terjadi. Itu terjadi karena sistem kita belum mampu mencegah itu,” kata Tito.
Tito menambahkan, kendala lain dalam penanganan terorisme di Indonesia adalah tak tersentuhnya akar permasalahan yang sebenarnya. Penindakan pelaku teror seperti memotong bagian puncak tanpa menyentuh anggota yang membangun jaringan.
“Sepanjang pemerintah mampu memenangkan simpati publik, teroris tidak akan menang,” katanya. dia.
Terkait hal tersebut, belum lama ini pemerintah menyarankan agar berdamai dengan para “teroris” untuk memutus mata rantai terorisme di Indonesia. Menanggapi hal tersebut Kepala BNPT, Ansyaad Mbai menilai langkah tersebut merupakan idealisme yang baik. Akan tetapi dalam prakteknya, harus dilihat dulu dengan siapa pemerintah harus berdamai.
“Bukan dengan teroris. Tidak ada orang berdamai dengan teroris. Di PBB ada prinsip non concession, dengan teroris,” tegasnya seusai acara seminar Penanggulangan Teroris di Lemhanas, Jakarta, Rabu (3/8/2011).
Ansyaad mengungkapkan jalan damai dimungkinkan dilakukan kepada kelompok radikal yang memiliki ideologi anti “teroris”. Dengan demikian kelompok radikal bisa dimanfaatkan untuk turut berkontibusi menanggulangi tindak pidana “terorisme”.
“Yang ada barangkali kelompok radikal yang non teroris. Kalau teroris, gak ada orang berdamai dengan teroris,” tukasnya.
Jadi hati-hati dengan tehnik adu bomba yang direncanakan oleh BNPT. Mereka berniat mengadu domba rakyat demi memberantas “terorisme” tanpa melakukan usaha sendiri dengan memanfaatkan kelompok “anti terorisme”. Anti terorisme yang diharapkan, tentunya anti terorisme sesuai dengan opini “teroris” yang selama ini mereka gembor-gemborkan. Wallohua’lam. (tbn/arrahmah.com)