Oleh Amin Muchtar
(Arrahmah.com) – Allah subahanahu wata’ala telah mengingatkan umat Islam, kapan dan di mana pun dia hidup, bahwa ia akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang berasal dari kaum kafir: Yahudi dan Nashrani. Peringatan itu termaktub secara jelas di dalam Al-Quran:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنْ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنْ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنْ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Setelah “tiarap” hampir 9 tahun lamanya, pemberitaan tentang “kartunisasi” yang menghina Rasulullah saw. kembali menghangat. Kali ini dipicu oleh American Freedom Defense Initiative (AFDI), sebuah kelompok yang secara aktif terus menyebarkan kebencian terhadap Muslim, yang berbasis di Amerika Serikat. Mereka menyelenggarakan kontes kartun Nabi Muhammad saw. di Garland Texas, AS, Ahad (3/5/2015) lalu dengan tajuk Muhammad Art Exhibit and Contest. Di acara tersebut dipamerkan ratusan gambar karikatur maupun lukisan yang menggambarkan bagaimana orang-orang membenci Islam dan Nabi Muhammad.
AFDI yang dipimpin oleh Pamela Geller (berusia 56 tahun asal New York) memang dikenal sebagai organisasi yang kerap menyuarakan anti-Islam dan penentangan terhadap perkembangan Islam di Amerika Serikat. Sikap anti-Islam ini jelas terlihat dalam beberapa praktik dan tindakan kelompok ini. Pameran karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad di Texas pekan ini hanya satu dari sekian aksi mereka yang menyudutkan Islam. Meski kontes itu akhirnya terpaksa dibubarkan polisi—setelah dua pria tak dikenal melakukan penyerangan hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa—namun Pamela mengaku tidak gentar dan tetap akan mengadakan acara serupa di masa depan. “Saya tidak akan mengekang kebebasan saya hanya agar tidak menyinggung orang-orang biadab. Kebebasan berbicara dilanggar di sini,” kata Geller.
Menanggapi kekerasan yang mewarnai acara kontes karikatur itu, politikus ternama Belanda, Geert Wilders—yang selama ini dikenal sebagai tokoh anti-muslim—yang hadir dalam kegiatan tersebut, sempat menyampaikan pidato yang isinya mengkritik Islam dan kaum Muslimin. “Saya ingin menyampaikan pesan bahwa jika Anda menggunakan kekerasan untuk menekan kebebasan berbicara, maka kami akan melakukan aksi (Islamofobia) yang lebih hebat lagi dari sebelumnya.” Demikian ancam Wilders.
Sisi “menarik” kartunisasi Nabi saw. ala AFDI di atas bukan terletak pada amrin dakhiliy (faktor internal), yakni “kartunisasi sebagai aksi pelecehan” semata, karena aksi serupa—atas nama kebebasan berekspresi dan berbicara—bukanlah yang pertama kali. Barangkali kita belum lupa, bagaimana seorang Salman Rushdie, meski agak malu-malu, dengan The Satanic Verses (1989) hingga koran Jyllands-Posten terbitan Denmark (2005), dengan nekatnya menggambarkan Nabi saw. sebagai seorang Badui membawa pedang dan diapit oleh dua orang perempuan bercadar hitam di sebelah kiri dan kanannya. Ini sekedar contoh kasus yang “layak digoreng” oleh media “resmi”. Belum lagi sikap serupa yang bertebaran di berbagai situs internet milik Barat dan komik-komik yang melecehkan Jihad, yang juga tersebar di situs-situs mereka.
Sisi menarik bagi kami justru terletak pada amrin khaarijiy (faktor eksternal), yaitu sikap pengusung dan pegiat HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap kasus semacam itu. Sudah jamak bahwa ketika dihadapkan pada beragam aksi pelanggaran hak asasi yang terjadi di berbagai belahan dunia muslim; di Rohingya, Xinjian, Pakistan, Afganistan, dan masih banyak lagi, para pegiat HAM termasuk negara-negara barat pengusung HAM, memilih bungkam. Beda halnya ketika kasus pelanggaran HAM terjadi pada mereka di luar kaum muslimin, para penggiat HAM langsung meradang dengan dalih melindungi hak asasi manusia. Ketika satu saja warga Israel terluka oleh roket pejuang Palestina misalnya, mereka langsung mengecam. Namun ketika tank dan pesawat tempur menghujani Palestina dengan bom hingga menewaskan ratusan bahkan ribuan nyawa warga Palestina, mulut mereka pun bungkam.
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu, ketika ada kebijakan penutupan 22 situs Islam, mereka tidak bersuara. Padahal, isu penutupan situs Islam itu sejatinya termasuk kategori melanggar HAM—versi mereka—karena termasuk melanggar kebebasan berekspresi dan juga kebebasan pers.
Sebagian kecil fakta di atas menunjukkan penggiat HAM menerapkan standar ganda dalam menyikapi isu HAM. Kalau terkait isu keislaman mereka tidak bersuara. Tetapi kalau isunya di luar Islam mereka bersuara.
“Wajah ganda” pejuang HAM ini memang pada akhirnya, disadari atau tidak, pasti menempatkan Islam dan kaum muslimin sebagai musuh. Islam dan HAM pada kenyataannnya ibarat minyak dan air. Tidak akan pernah bersatu, selamanya. Kenapa? Karena HAM yang diusung Barat sebenarnya berangkat dari pemahamann yang bertentangan dengan syariat Islam. Perlindungan terhadap nilai-nilai kebebasan manusia dalam HAM sungguh sangat kontradiktif dengan nilai-nilai keislaman. HAM “mengajarkan” untuk melindungi kebebasan manusia secara mutlak, karena menurut HAM, kebebasan adalah hak asasi setiap manusia di muka Bumi. Seseorang tidak boleh dilarang untuk berpendapat, memiliki, dan berperilaku sesuai kehendak hatinya.
Maka tidak heran jika ada orang yang mengklaim nabi—padahal palsu—malah didukung bahkan dielu-elukan. Sementara orang atau kelompok masyarakat yang bermaksud melindungi agama dari penistaan itu dikecam. Tidak aneh jika para karikaturis Nabi saw. dan atau penyelenggaran kontes malah dilindungi. Lumrah jika homo dan lesbi dihalalkan dan bahkan dibolehkan menikah. Seseorang yang tidak shalat, tidak memakai jilbab dan kerudung bagi muslimah, tidak shaum, dan beragam pembangkangan terhadap syariat Islam lainnya malah didukung. Kenapa? Karena semua itu menurut konsep HAM barat adalah hak asasi manusia yang tidak boleh diganggu gugat.
Visualisasi Nabi: Ekspresi kebebasan?
Menurut Islam, jangankan membuat gambar yang bersifat menghina, sekadar melukis sosok Rasulullah saw. sendiri pun sudah haram hukumnya, bahkan meski pelukisnya melukis dengan niat baik dan disertai lukisan nan indah sekalipun. Pasalnya, umat Islam sejak awal telah diajari untuk menghormati nabi mereka bukan dengan membuat lukisan atau gambar, apalagi patung. Islam datang justru menghancurkan gambar-gambar para nabi serta patung-patung mereka yang terlanjur disembah. Di sini kita dituntut proporsional, apakah reaksinya akan sama bila gambar Nabi itu dianggap indah atau dipandang tidak menghina? Kita harus bersikap sama, bukan indah dan tidaknya, tetapi letak persoalannya justru ada pada larangan membuat gambar itu sendiri.
Salah satu bentuk kejahilan yang diperangi agama Islam adalah melukis, menggambar dan mematungkan para nabi dan orang shalih di masa lalu. Dan kelakuan umat terdahulu memang selalu demikian. Para nabi yang telah wafat itu mereka buatkan lukisannya, meski dengan niat untuk mengagungkannya, mensucikannya atau menghormatinya. Namun di balik niat tersebut, setan “digdaya” menyelewengkan dan memasukkan bisikan jahatnya. Sehingga pada akhirnya gambar dan patung para nabi menjadi sembahan selain Allah. Sikap orang-orang “berniat lurus” seperti itu telah dilukiskan oleh Al-Quran:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا # وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.’ Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (QS. Nuh: 23-24)
Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada berbagai qabilah kaum Nuh. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa nama-nama itu hakikatnya nama orang shalih dan mereka bukan tuhan. Namun setelah mereka meninggal, orang-orang ingin mengenang jasa dan keagungannya, kemudian dilukislah wajah mereka, sehingga akhirnya dibuatkan patung. Niat awal generasi pertama dalam ekspresi kekaguman dan penghormatan itu hilang ditelan masa tanpa diketahui “sababul kurunyungnya” (latar belakang pematungan) oleh generasi pelanjut, hingga akhirnya patung mereka dijadikan sembahan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Jadi, melukis Nabi dengan motif penggagungan semata termasuk haram, apalagi dibuat dalam format karikatur dengan motif pelecehan. Belum lagi dimuat di media massa secara terbuka, bahkan di-copy oleh media lain untuk diterbitkan lagi.
Kita sadar, pembuatan dan penyebarluasan karikartur itu sebagai upaya provokasi kaum kafir guna memancing kemarahan Umat Islam. Mereka sangat senang bila umat Islam bersikap anarkis, sehingga mereka punya alasan yang kuat untuk membenarkan stigma yang diciptakan oleh mereka bahwa umat Islam adalah umat yang suka berbuat kerusakan. Kita bisa saja membalas perbuatan serupa—atas nama kebebasan berbuat—namun kita sadar pula bahwa kebesaaan seseorang itu terbatas dengan adanya kebebasan orang lain. Tidak ada kebebasan di dunia ini yang bersifat mutlak, sehingga orang boleh melakukan apa saja, sampai mengganggu orang lain. Seorang yang membeli kereta dengan uang pribadinya memang boleh memiliki kereta itu secara peribadi, namun di jalan raya dia harus mengikut peraturan lalu lintas. Tidak boleh seseorang merasa bebas membawa kereta semau gue di jalan raya dengan dalih kebebasan. Pesawat udara yang kelihatannya terbang bebas di udara pun sebenarnya mempunyai jalur-jalur udara yang harus dipatuhinya.Tidak boleh terbang sebebas-bebasnya tanpa mengikut track yang telah ditetapkan. Sebab perilakunya dapat mencelakakan diri sendiri juga orang lain.
Kita berharap semoga penghinaan yang diterima selama ini dijadikan sebagai momentum yang baik untuk mengevaluasi diri kita, apakah reaksi kita terhadap pihak yang melecehkan Nabi dan agama Islam itu dipengaruhi oleh cinta Nabi semusim dan emosional semata? atawa karena keimanan dan keilmuan terhadap nubuwwah dan syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi sendiri? Tentu saja kita berharap termasuk bagian umat yang kedua, sesuai dengan pesan Nabi
مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
“Siapa yang menghidupkan sunahku berarti ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku niscaya bersamaku di surga.” HR. At-Tirmidzi
Dengan cara demikian, kita akan semakin yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang melecehkan Nabi dan agama Islam.
(adibahasan/sba/arrahmah.com)