(Arrahmah.com) – Di dalam pemerintahan Jokowi, Indonesia semakin liberal dan bahkan Indonesia disebut sebagai negara korporasi yaitu Negara yang mengabdi untuk kepentingan para pengusaha baik pengusaha dalam negeri maupun luar negeri/asing. Bahkan yang lebih berbahaya pengusaha asing bisa ikut menyusun Undang-Undang yang tentunya akan menguntungkan pihaknya. Salah satunya adalah UU migas no 22/2001. Inilah UU yang memberikan pintu masuk lebar-lebar bagi para kooperator yang berada di Indonesia. Bahkan posisi mereka disamakan dengan badan usaha milik negara. Bahakan bisa mendapatakan fasilitas yang lebih daripada perusahaan yang ada di dalam negeri.
Neoliberalisme dijadikan panutan dan kiblat politik dan ekonomi negeri. Apakah neoliberalisme itu? Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.
Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat (perusahaan) baik domestik maupun asing.
Di sisi lain, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik dengan ditetapkannya model Pemilu langsung untuk kepala daerah dan presiden serta pemilihan anggota legislatif berdasar suara terbanyak, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik, yang penting mereka terpilih. Karena itu pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi kepentingan asing.
Neoliberalisme dan neoimperialisme ini berdampak sangat buruk bagi kita semua. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik, seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.
Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misalnya, adalah bukti nyata aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.
Sebagaimana kita ketahui dengan kondisi Indonesia yang liberal dan tentu saja ekonominya diatur dengan sistem Kapitalis. Yang pada faktanya dengan sistem kapitalis ini masyarakat Indonesia akan terbelah menjadi dua golongan yaitu golongan yang bisa menjadi sangat kaya dan yang satunya bisa sangat miskin, karena dalam sistem ekonomi kapitalis harta kekayaan negara 99% dikuasai beberapa orang dan sedangkan sisanya memperebutkan 1% kekeayaan yang tersisa.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis yang selalu diukur dengan materi dan orang-orang yang menggunakan sistem ekonomi ini selalu berpandangan selama barang itu dibutuhkan dan diinginkan maka barang tersebut akan terus diproduksi. Maka tidak heran jika Narkoba itu sulit untuk di berantas karena masih saja ada permintaan.
Beda dengan ekonomi Islam yang mana segalanya berstandarkan pada halal dan haram yang sudah jelas batasannya. Jadi barang-barang yang diproduksi dilandasi dengan apakah barang ini diperbolehkan ataukah tidak menurut pandangan Islam, bukan berdasarkan permintaan pasar.
Nanik – Muslimah HTI Kediri
(*/arrahmah.com)