YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia siap menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), meskipun ada protes dari pelaku usaha yang merasa dirugikan, kata Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Djauhari Oratmangun.
“Pemerintah siap menghadapi perdagangan bebas itu karena menganggap ACFTA lebih banyak memberi keuntungan bagi Indonesia. Kami menyayangkan jika banyak pelaku usaha menyatakan tidak siap menghadapi ACFTA,” katanya di Yogyakarta, Jumat (22/1).
Menurut dia pada temu media perkembangan kerja sama ASEAN, ACFTA sebenarnya justru menggairahkan para pelaku usaha untuk lebih kreatif dan efisien. Selama ini banyak pelaku usaha selalu mengatakan tidak siap, padahal kenyataannya siap.
Ia mengatakan jumlah “tariff lines” produk yang berhasil diberlakukan dalam perdagangan bebas tersebut jauh lebih banyak ketimbang yang bermasalah, karena dari 8.000 total “tariff lines” yang ada, yang mengalami masalah hanya 238 “tariff lines”.
Ke-238 “tariff lines” itu adalah mereka yang merasa rugi dengan adanya persaingan dalam ACFTA. Artinya, ada 7.000 lebih “tariff lines” yang diuntungkan dengan adanya ACFTA.
“Mereka yang diuntungkan itu cenderung diam dan tidak mempermasalahkan ACFTA, ketimbang mereka yang merasa dirugikan,” katanya.
Ia mengatakan keyakinan ACFTA akan memberi keuntungan juga didasarkan pada posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam perdagangan bebas di kawasan ASEAN, yang dibuktikan dengan terpilihnya Indonesia sebagai anggota G21.
Hal itu sebenarnya menimbulkan kecemburuan luar biasa dari negara ASEAN yang lain, sehingga disayangkan jika Indonesia tidak mengambil kesempatan berkompetisi dalam ACFTA.
“Jika Indonesia mundur dari ACFTA, kesempatan itu akan diambil negara anggota ASEAN lainnya, terutama Malaysia dan Singapura. Apalagi, saat krisis ekonomi kembali melanda dunia, hanya ada tiga negara yang mengalami pertumbuhan positif, yakni Indonesia, China, dan India,” katanya.
Namun demikian, menurut dia, pemerintah juga perlu melakukan pembenahan di sejumlah sektor dalam menghadapi ACFTA, di antaranya menurunkan bunga perbankan yang saat ini dinilai sangat tinggi, yakni 15 persen.
Selain itu, pemberlakuan nilai pajak untuk para pelaku usaha juga perlu dipertimbangkan agar tidak memberatkan mereka dalam mengekspor produknya.
Dalam waktu dekat, menurut dia pemerintah juga akan mengkaji ulang pemberlakuan ACFTA bagi Indonesia.
“Hal utama yang akan dikaji ulang adalah 238 `tariff lines` yang masih bermasalah, termasuk 10 jenis industri yang sebelumnya diminta untuk ditunda dalam daftar produk ACFTA di antaranya industri baja, permesinan, dan tekstil,” katanya. (ant/arrahmah.com)