(Arrahmah.com) – Tahun 1845, Irlandia dilanda paceklik panjang. Kelaparan massal meruyak di daerah jajahan Inggris ini. Lebih sejuta rakyat setempat tumbang karenanya.
Khilafah Turki Ustmaniyah tak berdiam diri. Khalifah Sultan Abdul Hamid bermaksud mengirim 10 ribu sterling (kini setara dengan 1,7 Milyar USD) untuk petani Irlandia. Tapi Ratu Inggris, Victoria, gengsi. ”Anda cukup mengirim 1000 sterling, karena saya sudah mengirim 2000 sterling,” pesannya kepada Sultan Hamid.
Akhirnya, Sultan memang mengirim 1000 sterling saja. Namun diam-diam ia juga melayarkan 3 kapal bermuatan penuh logistik ke sana. Mengetahui hal itu, Pabean Inggris berupaya memblokir kapal tersebut. Toh, awak kapal Ustmani sempat merapatkan kapal ke Darmaga Drogheda sehingga muatannya sampai kepada warga yang kelaparan.
Jejak kemuliaan Negeri Syariat itu senantiasa dikenang rakyat Irlandia, khususnya warga Drogheda. Mereka bersahabat dengan orang Turki, dan membangun simbol-simbol memorial Ustmani di sana (http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda).
Orientalis Arnold W Toynbe, dalam bukunya The Preaching of Islam, melukiskan kenikmatan warga non-Muslim dalam naungan pemerintahan Daulah Utsmaniyah. “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen,” tutur Arnold.
Ia melanjutkan, ”Kaum Calvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik. Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam. Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Maka, kata Tim Wallace-Murphy, “Barat berutang pada Islam.” Dalam bukunya yang berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006), Murphy menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu secara cukup indah. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya utang mereka terhadap Islam, yang tak bisa dibalas sampai kapanpun. “We in the West owe a debt to the muslim world that can be never fully repaid,” tulis Murphy.
Sejarah Indonesia pun berhubungan erat dan mendalam dengan Islam. Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), para penguasa Hindu di Nusantara mengakui kebesarannya. Ini dibuktikan misalnya oleh dua pucuk surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan kedua kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat kedua ini didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid.
Selain itu, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam dan minta bantuan menghadapi angkatan laut Portugis yang mengganggu para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah.
Petisi Aceh itu mendapat respon dari Sultan Salim II (974-982 H/1566-1574 M), yang memerintahkan kesultanan untuk mengirim bala bantuan militer angkatan laut ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini di-BKO-kan kepada Sultan Aceh selama dibutuhkan.
Hukum Islam juga sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Contohnya, pada 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis Kitab Shirathal Mustaqim. Ini kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam Kitab Sabilul Muhtadin untuk dijadikan pegangan di Kesultanan Banjar. Di Kesultanan Palembang dan Banten terbitkan pula beberapa kitab hukum Islam.
Hukum Islam diikuti juga oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.
Dengan fakta-fakta historis tersebut, pakar hukum Islam Prof Muhammad Daud Ali, menyimpulkan, “sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini” (M Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1994, hal. 69-70).
Peneliti Daniel S Lev mengakui, Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Dengan Regerings Reglemen, mulai 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam, sebagaimana kelak dirumuskan dalam Piagam Jakarta.
Dengan latar sejarah nasional tersebut, tidak aneh jika sekarang warga Ibukota memilih pemimpin Jakarta berdasarkan agamanya. Yang anomali itu kalau menganggapnya inkonsitusional, apalagi menganggap konstitusi lebih tinggi daripada ajaran agama.
(*/arrahmah.com)