PONTIANAK (Arrahmah.com) – Indonesia termasuk tiga negara terbesar di dunia konsumen rokok, sehingga pabrik rokok dari negara-negara kapitalis berlomba-lomba ingin masuk ke Indonesia, kata Penulis Buku “Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok”, Okta Pinanjaya.
“Di Indonesia sekitar 20 ribu orang sebelumnya terlibat dalam industri rokok, sebelum perusahaan besar rokok dalam negeri dikuasai oleh perusahaan asing, dan bisa menyumbang sekitar 10 persen dari total APBN,” kata Okta Pinanjaya saat menjadi pembicara bedah buku “Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok” di Pontianak, Jumat (30/11) seperti dilansir ANTARA.
Menurut dia, kampanye antirokok tidak semata-mata bertujuan demi kesehatan, tetapi ada sesuatu dibalik itu, yakni industri rokok AS ingin menguasai pasar rokok di Asia terutama Indonesia.
“Padahal sebelumnya, industri rokok kretek di Indonesia sudah ada sejak 100 tahun lalu, tetapi dengan masuknya industri rokok luar, maka sekitar enam ribu produsen rokok kelas menengah kecil di Indonesia ‘gulung tikar’, kini dua perusahaan rokok asing sudah menguasai pabrik rokok dalam negeri, dengan menguasai sekitar 23 pasar dalam negeri,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Cikal Kalbar Muhlis Suhaeri mengatakan, bedah buku tersebut, bertujuan mengurai benang kusut selingkuh kapitalis global yang mengangkat tema besar, “perang terhadap tembakau”, dengan harapan mampu membuka benang kusut itu.
Selain itu memberikan gambaran terang bagi masyarakat tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi, bagaimana posisi Indonesia, sebagai sebuah entitas, negara penghasil tembakau, yang memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional, di dalam pertarungan global tersebut.
“Perang tembakau secara global memang sudah berlangsung lama, bahkan sejak perang dunia. Kini kelompok yang menamakan diri antirokok semakin kuat menancapkan kukunya, lewat berbagai regulasi yang dibuat di sejumlah negara,” ujarnya.
Regulasi-regulasi itu turut didorong oleh badan kesehatan dunia WHO, terutama lewat “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau.
“Tetapi di dalam FCTC itu tidak serta merta bertujuan mulia demi kesehatan, ada tujuan terselubung, yang muaranya pertarungan kapitalis global untuk memperebutkan pasar tembakau,” ungkap Muhlis.
Dalam isi klausul FCTC ternyata lebih berbicara pokok soal pengendalian suplai tembakau pada tingkat hulu, pengendalian produksi dan distribusi pada tingkat hilir, beserta serangkaian kebijakan pendanaan sektor keuangan di tingkat global, daripada mewujudkan sistem kesehatan yang terjangkau oleh seluruh masyarakat dunia.
Menurut dia, dibalik itu semua, salah satunya lembaga “Bloomberg Initiative” yang bermarkas di AS, lembaga tersebut telah menyalurkan dana ratusan juta dolar kepada banyak LSM, ormas, universitas maupun lembaga pemerintah, untuk mendorong proses ratifikasi atau adopsi konvensi FCTC ke dalam perundang-undangan nasional pada lebih dari 50 negara berkembang dan miskin, termasuk Indonesia.
“Di sisi lain, kita saksikan adanya kepentingan industri farmasi terhadap pangsa pasar nikotin global, karena FCTC adalah regulasi yang mewadahi kepentingan ekspansi industri obat global,” ujarnya.
Muhlis menambahkan, jika dipertajam lagi pertanyaannya, maka jejaring kekuatan modal apa sajakah yang bertitik temu pada sosok Micheal Bloomberg, pendiri Bloomberg Initiative, kemudian siapa-siapa saja industri farmasi yang berada di balik perang tersebut, dan bagaimanakah selingkuh itu terjadi?.
Untuk membuka benang kusut itu, maka munculnya buku “Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS”, kata Muhlis.
Kepala Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3 dan PL) Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Saptiko dilaporkan Antara mengatakan, Pemerintah Kota Pontianak dalam melindungi masyarakat yang tidak merokok akibat asap rokok orang lain telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10/2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, seperti larangan merokok di lingkungan sekolah, rumah sakit, tempat umum, ruang tertutup, dan tempat pelayanan publik yang sifatnya tertutup.
“Dalam Perda tersebut tidak melarang orang untuk merokok, tetapi melindungi masyarakat yang tidak perokok agar tidak teracuni asap rokok,” ujarnya. (bilal/arrahmah.com)