Oleh Hanif Kristianto*
(Arrahmah.com) – Indonesia kita terancam. Begitulah ungkapan tepat menggambarkan negeri tercinta ini. Bagaimana tidak, kekayaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) belum mampu menegakan tubuh Indonesia tegak dan kuat. Ancaman dan tantangan bagi Indonesia silih berganti baik serangan pemikiran, budaya, maupun penguasaan sumber ekonomi. Patut menjadi catatan bahwa Indonesia butuh kedaulatan dalam segala lini hidup. Hal ini diinginkan untuk mewujudkan Indonesia yang gemaripah loh jinawi, toto tentrem, kerto raharjo atau disebut hidup bahagia.
Ancaman bagi Indonesia membuat militer kian resah. Hal inilah yang disampaikan KSAD Jendral TNI Gatot Nurmantyo mengingatkan bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki bangsa Indonesia justru bisa menjadi bumerang. Pasalnya, kekayaan Indonesia berpotensi dilirik oleh negara asing sebagai lahan eksploitasi. Hal itu disampaikan di Malang, Selasa 7 April 2015 (beritajatim.com).
Pada kesempatan yang sama KSAD menyatakan bahwa bangsa ini harus bersiap menghadapi tantangan jika ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Perang yang akan segera dihadapi bangsa ini yaitu perang energi. Berbagai gejala sudah mulai tampak, salah satunya melalui perang proxy (proxy war). Proxy war adalah perang dengan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti perang secara langsung untuk menghindari resiko kehancuran fatal. KSAD menyontohkan bahwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia karena Australia membantunya dengan harapan menguasai cadangan minyak yang melimpah. Xanana Gusmao mengonfirmasi kebenaran itu (pikiranrakyat.com, 7/4/2015).
Ada hal menarik pada pernyataan KSAD, yaitu negara asing, proxy war, dan intervensi asing pada pemisahan suatu wilayah dari negara yang sah. Beberapa waktu sebelumnya TNI telah mengadakan pertemuan dengan BEM seluruh Indonesia, guna memberi pembekalan bahaya asing dalam menguasai SDA Indonesia. Kewaspadaan ini seharusnya dipertegas kembali dengan sudut pandang ideologi yang benar. Serta mengambil langkah teknis dan taktis. Hal ini penting untuk menjauhkan militer dari pragmatisme, oportunis, dan kepentingan sesaat terkait harta dan jabatan.
Mempertegas ancaman
Siapa yang dimaksud negara asing? Hal ini perlu dipertegas oleh TNI jika rakyat diminta memahami pesannya. Selama tidak ada kejelasan, keberadaan negara asing yang saat ini berada di Indonesia bukan lagi menjadi ancaman. Jika ditelaah lebih lanjut, negara yang ingin menggeruk kekayaan SDA negara lain berideologi kapitalisme. Kapitalisme merupakan ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Serta bertumpu pada modal (kapital) dalam meraih tujuan dan bersifat materi semata. Kapitalisme begitu rakus dan merusak kehidupan. Rakyat yang seharusnya menikmati hasil SDA harus gigit jari dan hidup dalam kemiskinan.
Rakyat harus digugah bahwa negara asing semisal AS, Inggris, China, Belanda, Kanada, Jepang, Perancis, dan lainnya telah bercokol di negeri ini. Mereka meneksplorasi SDA melalui korporasinya, semisal Freeport, Exxon Mobile, Newmount, Shell, Petrochina, Mitsubishi Oil, dan lainnya. Tidak hanya asing, korporasi lokal juga turut mengeksplorasi SDA Indonesia. Beberapa di antaranya Nusantara Energy Group (Prabowo), MNC Energy & Natural Resources (Harry Tanoe Soedibyo), Bakrie Group (Aburizal Bakrie), Surya Energy Raya dan Media Group (Surya Paloh), Founder Toba Sejahterah (Luhut Panjaitan), Perusahaan Group Yusuf Kalla, dan sederet koporasi pejabat negeri ini.
Berdasar keterangan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Pulau Jawa dikapling pertambangan melalui IjinUsaha Pertambangan(IUP) yangdikeluarkan oleh pemerintah daerahJawa Barat: 206,681 ha – 455 lembaga, Jawa Tengah: 74,532 ha – 238 lembaga, Yogyakarta: 9,578 ha – 15 lembaga, dan Jawa Timur: 86,904 ha – 378 lembaga.
Seputar Jawa Timur di wilayah uatara mulai pantura hingga Madura telah dikapling terkait minyak dan gas (migas), termasuk eksplorasi lepas pantai. Wilayah selatan pun demikian juga telah dikapling mulai Magetan hingga Jember. Wilayah selatan kaya akan air dan sumber mineral. Emas di Banyuwangi, Madiun, dan Trenggalek. Pasir besi di Lumajang dan Jember. Mineral lain di Mojokerto, Trenggalek, dan Pacitan. Tembaga di Pacitan. Gamping ada di Gresik, Tuban, dan sisa gunung mati. Sumber Daya Air penggunungan ada di Pasuruan hingga ke timur.
Sedemikian rupa, negera ini dikepung oleh korporasi. Pengusaha itu pun bermain pula menjadi penguasa. Tak ayal, negara ini layak disebut negara korporasi. Jelas pula, rakyat yang seharusnya diurusi kepentingan hidupnya seiring terabaikan hak-haknya. Kasus luapan lumpur Lapindo Sidoarjo, pemerintah yang memperpanjang kontrak Freeport, sengketa lahan antara perusahaan dengan warga yang melibatkan militer, dan sederet kasus lainnya semisal pencemaran dan perusakan lingkungan.
Berkaitan dengan proxy war, ini merupakan salah satu cara untuk intervensi negara asing. Cara militer dianggap lagi tidak menguntungkan karena berbiaya mahal dan menghindari jatuh korban di kalangan manusia. Kemudian dipilih dengan model penjajahan politik, ekonomi, dan budaya. Kata-kata investasi dan penanaman modal asing sering menjadi angin segar ekonomi. Padahal hakikatnya penjajahan asing. Korporasi asing berani membayar politisi di eksekutif dan legislatif dalam pembiayaan pembuatan undang-undang. Bahkan kini ditengarai ada 70 lebih UU liberal dan tidak pro rakyat. Penguasa sering menjadi kepanjangan tangan pengusaha dalam hal aturan main usaha. Demokrasi hanya ilusi tak seindah jargonya. Sebaliknya demokrasi menjelma menjadi dari korporasi, oleh penguasa-korporasi, dan untuk korporasi.
Intervensi dalam pemisahan suatu wilayah merupakan cara Barat untuk memecah belah dan meperlemah negara. Semenjak kelemahan Daulah Khilafah dan pasca perang dunia II, negara jajahan dimeredekakan dan dibagi-bagi dalam wilayah kecil. Khilafah yang pernah menguasai 2/3 dunia dan bersatu dalam satu bendera tauhid, dipecah menjadi 50 an negara. Meski merdeka, penjajah masih mencengkram dengan mengangkat pemimpin boneka dan mengambil ideologi penjajah. Cukuplah Irak, Sudan, Yaman, Pakistan, Timor Timur, dan Afghanistan menjadi pelajaran berharga. Irak diinvasi militer karena alasan senjata pemusnah massal, namun tidak terbukti. Ujungnya kepentingan minyak dan menyingkirkan Saddam Hussein karena tidak berguna lagi. Sudan dipecah menjadi Sudan Utara dan Sudan Selatan. Di sana disulut konflik internasional dengan menggunakan orang lokal. AS dan Eropa berebut kepentingan di Afrika. Yaman pun tak berbeda dengan Sudan. Pakistan berkonflik dengan Kashmir, India, dan Bangladesh. Timor Timur dipecah kembali atas bantuan Australia. Benih-benih separatisme dan disintegrasi pun muncul di beberapa wilayah Indonesia yang kaya SDA. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Republik Maluku Selatan(RMS) di Maluku, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, dan lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa metode baku dari negara kapitalisme adalah penjajahan dan memecah belah.
Dengan demikian, saat ini muncullah istilah neo liberalisme dan neo imprealisme. Kedua ide itu saat ini mengancam kedaulatan Indonesia. Tanpa sadar, kian hari kian kokoh kedua ide itu. Maka harus disadari oleh semua elemen umat dimulai dari kalangan militer, politisi, aktifis, intelektual, ulama’, santri, mahasiswa pelajar dan semuanya. Jika ancaman nyata dan musuh bersama adalah neo liberalisme dan neo imprealisme yang telah mengepung di segala aspek kehidupan. Beratlah akhirnya bangsa ini dalam menjalani kehidupan.
Mengembalikan peran militer
Militer sebagai penjaga kedaulatan negeri ini harus dikembalikan perannya. Semua pasukan disiagakan dalam kondisi siap perang. Pembinaan mental dan spiritual dijadikan bekal mereka untuk menghadapai musuh sesungguhnya. Jangan sampai peran militer dikerdilkan dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perang. Saat ini militer masuk ke ranah yang seharusnya dilakukan polisi dan pemerintahan. Semisal menangkap mafia pupuk, ikut dalam program KB, pembangunan desa, dan lainnya.
Jikalau sekarang militer sudah sadar bahwa negara asing sudah menjajah Indonesia. Maka sikap ksatria yang harus ditunjukan adalah menentang segala bentuk penjajahan, memutuskan hubungan militer dengan negara penjajah, dan tidak bersikap manis muka di hadapan mereka. Militer harus membangun industri militer yang kuat dan berbasis pada tujuan perang. Hal ini dilakukan untuk menghindari embargo, tekanan militer asing, dan bunuh diri politik-militer. Harus diingat militer asing akan menggunkan isu terorisme-radikalisme untuk mengajak militer Indonesia dalam Global War on Terorrism (GWOT) dan latihan bersama. Sesungguhnya hal itu akan menjadi bunuh diri politik-militer.
Menggugah kesadaran
Ya, berdasar paparan di atas, neo liberalisme dan neo imprelisme merupakan ancaman bagi negeri ini. Berita carut marut politik, penegakan hukum, kenaikan harga barang kebutuhan pokok, liberalisasi budaya-ekonomi-sosial sudah cukup menjadi bukti bahwa negeri ini salah urus. Butuh solusi fundamental yang tidak sekadar seruan ganti rezim, tapi juga ganti sistem.
Rezim bobrok ditopang dengan sistem yang bobrok, menghasilkan kebobrokan. Sama saja jika salah satunya bobrok, akan menimbulkan kerusakan pula. Maka butuh sistem yang bukan berasal dari manusia yang lemah. Itulah sistem Islam. Oleh karena saat ini butuh penyelamatan segera untuk menuju Indonesia Lebih Baik dengan Syariah dalam bingkai Khilafah. Save Indonesia dari Neo Liberalisme dan Neo Imprealisme.
*Penulis adalah Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur
(*/arrahmah.com)