(Arrahmah.com) JAKARTA – Indonesia didorong dalam dua posisi menyikapi agresi yang dilakukan “Israel” kepada Palestina. Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Anis Matta, mengatakan, peran pertama, Indonesia berdiri di posisi diplomatik dan kemanusiaan.
Menurut dia, di posisi diplomatik, khususnya forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia harus menggugat tentang solusi dua negara (two state nation). Artinya, kata Anis, penyelesaian konflik harus berdasarkan prinsip yang sudah ditentukan.
Dia menyebut, solusi dua negara merupakan sikap awal Pemerintah Indonesia sejak era Sukarno dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-“Israel”. Sebagai negara Muslim terbesar, Anis menekankan, Jakarta bisa menjadi episentrum pertemuan tersebut. Hal itu bisa membawa efek positif bagi Indonesia di mata negara-negara Islam jika terwujud.
“Pada dasarnya kami setuju dengan solusi dua negara dan itu sikap Indonesia secara umum. Tapi, kalau kami membuat prediksi tentang masa depan negara ini, Indonesia pada dasarnya bisa ikut memelopori perbincangan tentang hal itu,” ujar Anis dalam webinar Moya Institute bertajuk “Konflik Timur Tengah: Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Palestina-Israel” yang digelar secara daring di Jakarta, Jumat (4/6).
Pada posisi diplomatik ini, Anis menambahkan, Indonesia harusnya bisa menjadi juru damai untuk kekuatan perlawanan yang ada di Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah. “Kita bisa undang Fatah, undang Hamas, dan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Saya kira para pejuang Palestina setuju dengan ajakan itu,” ujarnya dilansir Republika.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, menyampaikan, Muhammadiyah sejak awal konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Dia menyinggung ada pihak tertentu yang secara politik berusaha menarik masalah itu ke konflik agama.
“Konflik Palestina-‘Israel’ bukan masalah teologi, tapi politik. Walaupun survei SMRC, sebagian besar umat Islam berpendapat masalah Palestina ini masalah umat Islam dengan Yahudi. Tapi, Muhammadiyah melihat ini dimensi politik, walaupun dimensi keagamaannya sangat kuat,” ucap Mu’ti.
Mu’ti menjelaskan, konflik keduanya merupakan benturan antara kelompok fundamentalis di kedua belah pihak. Hamas yang beberapa kali menang pemilu, dia menambahkan, dianggap sebagai kelompok fundamentalis oleh Zionis “Israel”.
“Netanyahu menang pemilu berkali-kali dan perdana menteri (Israel) yang baru lebih fundamentalis. Keduanya tidak setuju Palestina dan ‘Israel’ menjadi dua negara yang berdaulat. Hamas tidak setuju, hanya setuju ada Palestina yang berdaulat, dan pengganti Netanyahu juga punya pendapat yang sama,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto memantik diskusi dengan menyampaikan pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat bertemu dengan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, Josep Borrell, di Jakarta pada Rabu (2/5).
Hery menyebut, Retno dalam pertemuan menyinggung pentingnya mencegah lingkaran kekerasan dan penyelesaian isu utama, yakni mengakhiri penjajahan Israel atas Palestina berdasarkan solusi dua negara dan parameter yang telah disepakati di level internasional.
(*/Arrahmah.com)