JAKARTA (Arrahmah.com) – Lagi-lagi Indonesia dijajah Jepang. Kali ini penjajahan dilakukan oleh para artis porno Jepang di dunia perfilman. Industri perfilman Indonesia jadi surganya artis porno Jepang?
Jepang mulai menjajah perfilman Indonesia. Terbukti, tiga bintang film asal Jepang telah melakukan invasi ke arena film nasional. Lebih memprihatinkan lagi, invasi tersebut dilakukan bintang film porno, bukan bintang berkualitas dalam akting.
Seperti bintang film bokep nomor 2 di Jepang, Rin Sakuragi, yang memamerkan keseksian tubuhnya di film ‘Suster Keramas’ produksi Maxima Pictures. Lalu muncul bintang film bokep nomor wahid di negeri Sakura itu, yakni Maria Ozawa atau Miyabi di film ‘Menculik Miyabi’, masih diproduksi Maxima Pictures. Bintang film bokep ketiga adalah Leah Yuzuki yang diboyong KK Dehraj produser K2K Production untuk memamerkan auratnya di film ‘Rayuan Arwah Penasaran’.
Meski keterlibatan bintang film porno Jepang itu menuai protes. Namun, ibarat anjing menggogong kafilah iblis tetap berlalu, dua produser, Ody Mulya dan KK Dheraj, tak ambil peduli. Berbagai kalangan profesional pun menyesalkan fenomena ini.
“Saya sangat menyesalkan produser yang telah dengan sengaja menjual bintang porno Jepang ke penonton Indonesia. Apapun alasannya, perbuatan mereka tidak bisa diterima. Beginilah jika produser memiliki prinsip yang penting dapat untung,” kecam aktor Soultan Saladin.
Menurut dia, memang tidak ada larangan artis asing bermain di film Indonesia, tetapi seharusnya artis yang memiliki kualitas akting, bukan artis yang dikenal lewat film porno. “Jika yang didatangkan artis papan atas, seperti Amy Yip, Jacky Chen atau Chow Yun Fat, itu baru luar biasa. Kalau artis kelas teri, buat apa? Itu namanya pelecehan!” tegasnya.
Tak Peduli Mutu, yang Penting Seksi dan Berani Umbar Aurat
Artis-artis porno yang main di film Indonesia itu memang tidak mempunyai kemampuan akting dengan baik. Mereka hanya menjual keseksian tubuh dan keberanian mengumbar aurat. Setidaknya, hal itu dirasakan betul oleh Shinta Bachir, artis yang pernah main bareng Rin Sakuragi di film ‘Suster Keramas.’
“Kemampuan akting Rin biasa-biasa saja, jadi buat aku kedatangan artis-artis Jepang bukan sebagai saingan,” kata artis kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 7 Februari 1986.
Anehnya, dengan alasan profesionalitas, Shinta sama sekali tak peduli dengan buruknya kemampuan akting para artis Jepang itu, meskipun artis-artis yang ‘diimpor’ itu adalah bintang film porno sekalipun. “Ya, selama mereka profesional, nggak peduli mereka bintang film bokep atau bukan, ya nggak masalah buat aku,” ujarnya.
Hadirnya artis panas Jepang dalam perfilman nusantara itu mendapat komentar sinis dari artis bomseks Indonesia, Julia Perez. Terhadap artis panas Jepang yang minta bayaran tinggi untuk berakting dalam film di Indonesia, Jupe sangat tidak setuju. “Memangnya dia itu pemain film apa? Apa dia sudah pernah dapat Oscar? Artis blue film di mana-mana bayarannya rendah,” sergahnya.
Mengimpor Seksualitas dan Sensualitas Demi Mengeruk Uang
Bagi produser Maxima Pictures, Odie Mulya Hidayat. menampilkan artis Jepang di film produksinya hanyalah trik untuk menangguk penonton sebanyak-banyaknya. Sebab, menurut dia, dalam setahun ini jumlah penonton film nasional kian merosot.
Terbukti, meski tidak terlalu booming, kedua film produksinya itu mampu mendapatkan penonton masing-masing 500 ribu orang. Meski mengakui telah menangguk keuntungan, Ody menyatakan tidak akan mendatangkan artis Jepang lagi. “Itulah trik kami. Setelah berhasil, maka kami tidak akan mendatangkan artis Jepang lagi untuk main di film kami,” jelasnya.
Hal berbeda diakui produser K2K Production, KK Dheraj, yang bertekad akan terus menjual sensualitas dan seksualitas dalam film prodksinya. Menurut dia, tanpa adegan seks filmnya tidak akan ditonton.
“Saya akan tetap membandel, karena saya ingin film saya ditonton orang. Karena seks itu adalah nilai jual. Tapi yang penting sudah disenor LSF. Kalau tidak disensor, saya tidak akan berani mengedarkannya,” katanya.
Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin, mengakui jumlah penonton yang datang ke bioskop saat pemutaran film yang dibintangi Rin Sakuragi dan Maria Ozawa cukup meningkat. “Sempat muncul kontroversi saat film ‘Suster Keramas’ diedarkan. Bahkan ada masa yang mau membakar bioskop. Kenyataannya itu yang justru membuat film tersebut laku,” papar Djonny.
Merusak Moral Anak-anak, Menambah Beban Bangsa
Komoditi film yang mengimpor artis bokep Jepang itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha perfilman. Dampaknya merusak moral generasi bangsa dan menambah beban negara yang sudah sangat bertumpuk.
Kalangan DPR RI punya alasan tersendiri sehingga melakukan penolakan terhadap film-film yang dibintangi artis-artis porno Jepang semisal Miyabi. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Rully Chairul Azwar mempertanyakan motivasi film ‘Menculik Miyabi,’ karena imej porno bintang asal Jepang tersebut.
“Kalau film itu pernah ditolak, lalu sekarang akan diputar kembali, saya bertanya apa motivasinya, apakah semata-mata karena komersial?” tanya Rully.
Menurut Rully, sebuah film harus memberikan nilai informasi, hiburan, pendidikan atau inspirasi. Jika sebuah film yang dibuat dan diputar hanya mempertontonkan kecantikan atau sensualitas seorang bintang, tidak menguntungkan bagi sebuah negeri yang sedang membangun karakter bangsanya, maka film itu layak untuk ditolak.
“Saya sependapat dengan MUI yang mengkhawatirkan anak-anak akan menjadikan bintang film Miyabi sebagai idola hidupnya,” ucap Rully.
Senada itu, Prof Dr Syafii Maarif keberatan dengan beredarnya film yang dibintangi aktris porno asal Jepang, karena film ini tetap menuai kontroversi. Menurutnya, film yang “berbau” porno karena latar belakang pemerannya seharusnya tidak perlu diputar di Indonesia. “Persoalan di negeri ini sudah terlalu banyak. Jangan malah menambah beban yang sudah ada,” kata Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu. [voi/arrahmah.com]