HINGGA hari ini, masih ada piha-pihak tertentu di negeri ini yang memberi kesan, bahwa penegakan Syari’at Islam di lembaga Negara sebagai gerakan yang mengancam keselamatan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pihak yang terus melestarikan stigmatisasi Islam sebagai ancaman bagi kedaulatan NKRI adalah kelompok komunis. Setelah komunisme dibubarkan, berdasarkan keputusan MPR RI 1966, pada era reformasi, wajah komunisme muncul kembali, merayap di celah krisis nasional.
Gerakan komunis berwajah Melayu, dan komunitas anti agama, kini berambisi untuk memisahkan kaum Muslimin dari sejarah bangsa Indonesia. Suatu pekerjaan sia-sia, bagai memisahkan gula dengan manisnya. Mustahil!
Kongres pertama rakyat Indonesia yang tergabung dalam Partai Syarikat Islam Indonesia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto, pernah melancarkan tuntutan, perlunya Indonesia baru yang bersyari’at. Seperti dapat disimak dari laporan penasehat rezim Hindia Belanda, Dr. HazU. Pada 16 Juni 1916, Dr. Hazu, yang notabene pejabat penjajah Belanda, dan beragama Kristen dengan jujur melaporkan bahwa, “kongres Partai Syarikat Islam merupakan kongres pertama rakyat Indonesia. Dalam kongres tersebut menggema tuntutan ‘Rakyat Indonesia Bersyari’at.”
Belum pernah ada organisasi yang hidup di zaman penjajah Hindia Belanda yang mampu mengumpulkan dan mengorganisir bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke, kecuali Partai Syarikat Islam. Pada waktu itu, tidak seorang pemimpin pun berani nongol dengan gagasan komunisme, nasionalisme, untuk mengajak rakyat Nusantara berjuang menuntut kemerdekaan.
Jadi, yang menyatukan Indonesia itu adalah Islam. Maka, bisa dikatakan sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan Islam. Ki Hajar Dewantoro, sebagai ketua gerakan Taman Siswa ikut dalam Partai Syari’at Islam. Bahkan Alimin yang menjadi tokoh komunis, semula menjadi pengurus Partai Syari’at Islam. Mereka semua bernaung di bawah panji-panji Islam di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto dengan Partai Syarikat Islam.
Mengapa sekarang, perjuangan menuntut kemerdekaan yang diawali oleh rakyat dengan semboyan “Indonesia Bersyari’at Islam” digugat? Setelah 90 tahun berselang, Syari’at Islam malah dianggap asing oleh rakyatnya sendiri, dianggap musuh yang mengancam kesatuan Indonesia. Siapa mereka?
Gangguan Munafiq
Selain komunis, siapakah yang secara gencar meredam perjuangan formalisasi Syari’ah Islam di lembaga Negara? Pertanyaan ini bisa dicarikan jawabannya pada Qur’an surat At-Taubah ayat 101 dan 102.
Allah Swt berfirman: “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan juga di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahi mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. At-Taubah, 101).
Nabi Muhammad Saw, seorang manusia ma’sum yang dijamin oleh Allah kesucian, dan kebersihan pribadinya, masih juga dikelilingi kaum munafiq. Seorang Nabi dan para sahabatnya, hidupnya telah diridhai oleh Allah, dijaga kema’sumannya, masih juga diganggu oleh orang munafiq, apalagi kita? Kondisi ini, nampaknya yang alpa dari pengamatan umat Islam. Mengapa perjuangan kaum Muslimin selalu mengalami degradasi (penurunan) terus menerus, tidak makin naik dan sukses, setelah bertahun-tahun lamanya umat Islam berkorban harta dan nyawa? Kita lengah, ternyata orang munafiq bergentayangan dimana-mana, menyusup ke berbagai lini perjuangan.
Orang munafiq bisa muncul dari dalam gerakan Islam, bisa juga komunis berjubah Islam, atau zionis bertopeng nasionalis. Allah Swt berfirman: “Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (102).
Maksud ayat ini, bahwa ada orang Arab yang masih setengah-setengah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada juga orang-orang Yahudi yang pandai memutar balik kebenaran, atau orang-orang Kristen yang tidak suka Islam berkembang. Mereka semua menjadi penduduk Negara Madinah, yang senantiasa berupaya menghancurkan Islam. Begitu halus dan lihainya orang munafik, sehingga Rasulullah Saw pun tidak menyadari eksistensi mereka, tapi Allah Swt mengetahuinya.
Statemen Al-Qur’an di atas harus menjadi referensi umat Islam. Kita harus teliti dan waspada, bahwa perjuangan Islam yang dimulai sejak tahun 1916 dengan semboyan, “Rakyat Indonesia Bersyari’at.” Tapi kenapa kita gagal meneruskan estafeta perjuangan yang telah dirintis Mujahid Islam terdahulu? Maka harus diwaspadai taktik licik kaum munafik. Kita jangan terlalu percaya terhadap orang yang identitasnya tidak jelas.
Orang munafiq sangat halus, lembut, dan sulit dideteksi. Termasuk ketika Hatta menyatakan, ada orang Indonesia bagian timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia bila Piagam Jakarta, dipaksakan untuk disahkan. Bung Hatta pun terprovokasi, sehingga dengan gampang membatalkan keputusan PPKI yang sudah susah payah bersidang untuk kepentingan itu. Maka, patut dipertanyakan, siapa sebenarnya Bung Hatta: Muslim atau Munafik?
Orang munafik tidak pernah bicara halal-haram, haq-bathil. Mereka mencampur adukkan kebaikan dan kejahatan. Dalam menyelesaikan problem bangsa, berpegang pada prinsip: bagaimana enaknya, bukan bagaimana baik dan benarnya. Sehingga, sudah lebih setengah abad Indonesia meredeka, rakmat Allah kian menjauh, rakyatnya tidak bertambah sejahtera. Karena itu, para tokoh umat Islam, politisi partai, pejabat eksekutif maupun legislative yang beragama Islam, tapi menjegal pelaksanaan Syari’at Islam di lembaga, harus mencurigai dirinya sendiri: “Jangan-jangan saya seorang munafik.”
Oleh : Ust. Muhammad Thalib dikutip dari: Rislah Mujahidin