Oleh Ine Wulansari
Pendidik Geneerasi
Pakaian impor murah asal Cina membanjiri Pusat Grosir Tanah Abang. Di sana dipajang berbagai produk pakaian seperti baju-baju bayi dan anak. Sayangnya pakaian tersebut tidak dilabeli Standar Nasional Indonesia (SNI). Padahal pakaian anak dan bayi adalah produk yang wajib memenuhi SNI. Kewajiban penyertaan SNI bertujuan mengatur persyaratan zat warna azo, kadar formaldehida, dan kadar logam terekstrasi pada kain. (Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 7/2014)
Jika ditelusuri lebih dalam, memang pakaian impor asal Cina tersebut dibandrol dengan harga yang murah kisaran Rp20.000 – Rp50.000 untuk satu potong baju anak tergantung ukuran dan model. Sementara baju bayi kisaran harga Rp25.000 – Rp35.000 per pieces. Akan tetapi dari segi kualitas jika diamati dengan teliti jahitannya tidak rapi sehingga akan mudah robek. Sedangkan bahannya, cenderung menggunakan bahan katun kualitas standar. Apabila dipegang terasa sedikit kasar dan tidak menyerap keringat. Namun diakui dari segi motif atau model, lebih unggul ketimbang produk lokal. (cnbcindonesia.com, 10 Agustus 2024)
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, data dari BPS menemukan informasi impor dengan data dari negara asal bebeda. Data ekspor ke Indonesia dari negara asal jauh lebih besar dibanding data impor di BPS. Artinya, terdapat barang illegal masuk ke Indonesia. Maka dari itu Zulhas sapaan akrabnya membentuk satuan tugas (satgas) pemberantas impor illegal. Satgas pun berfokus pada tujuh komoditas, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, alat elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki.
Berdasarkan data yang dipaparkan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Pembelanjaan Indonesia (HIPPINDO), data impor dan ekspor dari Internasional Trade Centre (ITC) dan BPS memang terlihat jomplang. Hal ini terjadi sejak 2004. Misalnya, pakaian jadi impor asal Cina pada 2004 berdasarkan data BPS mencapai Rp19,11 miliar. Padahal data ekspor pakaian jadi China ke Indonesia berdasarkan data ITC mencapai Rp751,2 miliar. Dengan kata lain, ada selisih sekitar Rp728,6 miliar pakaian impor China. Angka ini pun bisa diindikasikan sebagai pakaian impor illegal dari China. (cnnindonesia.com, 19 Juli 2024)
Produk Cina Merajai Pasar, Pedagang Lokal Kian Gusar
Pakaian impor dari Cina telah menjadi tren yang semakin populer di kalangan konsumen Indonesia. Berbagai faktor menjadi alasan mengapa baju impor asal Cina ini begitu disukai di pasar Indonesia. Pakaian dari Cina dikenal dengan harga yang terjangkau, hal ini dikarenakan biaya produksi di Cina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Oleh karena itu, harga jual pakaian impor dari Cina di Indonesia menjadi lebih bersaing dan dapat menjangkau konsumen dari berbagai kalangan. Selain itu, tren mode yang up to date semakin menarik perhatian masyarakat Indonesia. Ketersediaan produk dalam berbagai ukuran, termasuk ukuran yang lebih besar yang mungkin sulit ditemukan dalam produk lokal. Terakhir, menjual pakaian impor dari Cina di Indonesia menjadi peluang bisnis yang menggiurkan.
Alasan-alasan itulah yang digunakan oleh sebagian perusahaan importir untuk melakukan berbagai kecurangan dengan mendatangkan produk asal Cina dengan jalur illegal. Padahal praktik seperti ini dapat menyebabkan industri kecil dalam negeri terpuruk dan tak sedikit yang mengalami gulung tikar. Imbasnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan perusahaan terhadap karyawannya tidak dapat dielakkan.
Mirisnya, meskipun industri tekstil tengah mengalami kondisi terpuruk, negara seolah tak berdaya dalam mengatasi kebangkrutan yang dialami industri tekstil dalam negeri. Berbagai produk impor Cina illegal menjatuhkan produk-produk dalam negeri tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Di mana industri tekstil sulit meningkatkan teknologi yang digunakan karena keterbatasan biaya. Ditambah lagi adanya keharusan membayar pajak tambahan nilai (PPN) yang tinggi. Hal ini menambah beban berat bagi perusahaan-perusahaan tekstil.
Kondisi ini tentu membutuhkan kebijakan tegas dari negara, sebab banjirnya produk impor Cina di pasar dalam negeri menunjukkan liberalisasi pasar yang sudah menyentuh lapisan bawah. Bukan tak mungkin, dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini menyiratkan adanya keberpihakan penguasa pada para perusahaan importir. Karena melalui imporlah pemerintah mendapatkan laba.
Inilah karut-marut aturan negara dalam sistem kapitalisme yang abai memberi perlindungan pada pengusaha kecil. Diperparah dengan adanya pasar bebas menjadikan negara luar/asing bebas memasukkan produknya ke Indonesia. Alhasil, pengusaha-pengusaha tekstil dalam negeri kalah bersaing. Ditambah lagi pungutan pajak dan retribusi terhadap industri lokal kian membebani biaya produksi serta distribusi.
Kebijakan Islam Mengatasi Impor Luar Negeri
Peran negara melalui aturan-aturannya sangat menentukan apakah melindungi atau membuat rakyat sengsara, termasuk perannya dalam mengatasi impor barang yang berasal dari luar negeri. Islam sebagai agama sempurna yang berasal dari Allah Ta’ala mempunyai solusi tuntas atas berbagai persoalan di tengah-tengah kehidupan. Di mana peran negara dalam Islam akan melindungi ekonomi rakyat tanpa membeda-bedakan mana yang mendapat subsidi dan tidak. Sebab semua rakyat berhak memperoleh jaminan dari negara termasuk di dalamnya jaminan perlindungan ekonomi. Tujuannya agar tidak terjebak arus liberalisasi pasar.
Negara dalam sistem Islam akan menyelenggarakan keberlangsungan aktivitas transaksi ekonomi warga serta menumbuhkan lahan bisnis yang kondusif dengan cara-cara yang sesuai syarak dan menutup pintu-pintu transaksi yang diharamkan Islam. Industri tekstil akan mendapat perhatian negara dengan menerapkan sistem ekonomi Islam melalui pengaturan industri dan perdagangan dengan mekanisme Islam yang mengatur perdagangan dalam dan luar negeri. Pertama, negara tidak akan menjadikan UMKM sebagai sumber perekonomian. Melainkan mengelola dan mengatur kekayaan milik umum seperti tambang, minyak bumi, gas alam, dan sebagainya. Hasil pengelolaan tersebut dikembalikan untuk kepentingan dan kebutuhan seluruh rakyat.
Kedua, setiap warga negara dalam naungan Daulah Islam boleh melakukan perdagangan di dalam negeri. Tentu saja barang yang dijual bukan yang haram, tidak melakukan penimbunan, kecurangan, pematokan harga, dan sebagainya.
Ketiga, pedagang yang merupakan warga Daulah boleh mengadakan perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor. Namun apabila ada barang dagangan yang dapat menimbulkan dampak buruk, maka komoditas tersebut yang dilarang.
Keempat, Daulah akan memberlakukan cukai pada negara kafir yang juga menarik cukai pada Daulah Islam. Hal tersebut tidak berlaku bagi pedagang yang merupakan warga negara Daulah pada komoditas ekspor impor yang mereka lakukan. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Dr. Muhammad Ash-Shalabi menuturkan bahwa pemberlakuan cukai untuk barang-barang ekspor dan impor zaman Khalifah Umar telah diterapkan. Para ahli sejarah sepakat bahwa Khalifah Umat adalah khalifah yang pertama menerapkan pajak 10 persen atas barang-barang impor. Khalifah bertanya kepada para saudagar muslim yang mendatangi negara Etiopia, tentang berapa banyak negara tersebut mengambil pajak dari mereka. Kemudian mereka menjawab 10 dari dagangan kami. Mendengar hal itu, Khalifah Umar menyuruh kepada para pegawainya untuk menarik pajak 10 persen dari barang dagangannya nonmuslim.
Demikianlah peran negara dalam sistem Islam yang bertanggung jawab penuh menjalankan perannya untuk melayani, memberi perlindungan, dan berbagai kemudahan agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan. Begitu juga dengan industri tekstil yang semestinya bisa tumbuh subur dan berkesinambungan. Jika terlihat gejala pelemahan pada industri tekstil, maka negara akan segera memberi bantuan berupa tambahan modal, sarana dan prasarana, serta kebijakan dan birokrasi yang mudah. Inilah bukti nyata Daulah Islam agar persaingan bisnis tetap sehat dan kuat. Semuanya terlindungi dalam aturan yang bersumber dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Wallahua’lam bish shawab