Setiap muslim pasti menginginkan umat Islam bersatu, menginginkan segala perbedaan yang ada tidak menimbulkan masalah atau pertikaian. Ini jelas keinginan setiap muslim. jika anda tidak percaya, silahkan anda buat kuisioner dan bagikan ke siapa saja yang ada di sekitar anda. Orang yang tidak menginginkan persatuan mazhab adalah diragukan kesehatan hati dan akalnya.
Niat baik persatuan mazhab harus diikuti dengan konsekwensi yang tidak ringan, yaitu melakukan usaha untuk mengarah kepada realisasi persatuan mazhab dan harus diikuti dengan langkah-langkah nyata. Tanpa itu semua slogan persatuan mazhab dengan berbagai jargonnya seperti “laa syarqiyyah laa gharbiyyah, Islamiyyah Islamiyyah”; “Tidak timur dan tidak barat, tetapi murni Islam,” atau “Mari kita lupakan perbedaan dan mari kita tegakkan ukhuwwah islamiah,” akan tidak berarti apa-apa. Tanpa ada usaha nyata, kita patut curiga bahwa persatuan mazhab digunakan untuk menetralisir gejolak kebencian yang ada terhadap kelompoknya. Atau ada agenda tersembunyi lain yang hendak dijalankan dengan mendengungkan slogan seperti itu. Persatuan mazhab adalah jargon yang selalu kita dengar dari penganut syi’ah, baik yang ada di tempat kita maupun yang ada di luar sana, tetapi praktek dari slogan itu tidak pernah nampak nyata.
Dari Mana Mengenal Mazhab Syi’ah?
Mengenal kedua mazhab adalah modal utama bagi upaya komparasi yang dilakukan dalam rangka pendekatan. Untuk mengenal sebuah mazhab tentunya dengan melihat ajaran mazhab itu dari literatur aslinya. Karena setiap mazhab –bahkan setiap agama- memiliki kitab atau literatur yang menjelaskan keyakinan mazhab atau agama itu. Setiap yang ingin mengenal ajaran itu hendaknya merujuk pada kitab literatur yang ada. Selain literatur, sumber lain yang ada adalah keterangan dari penganut mazhab itu. Ini untuk mengenal ajaran mazhab pada umumnya.
Jalan untuk mengenal mazhab syi’ah adalah dengan mengakses literatur mereka. Tetapi mengakses literatur syi’ah tidaklah mudah, bahkan bisa dikatakan orang awam tidak akan dapat mengakses literatur induk syi’ah. Dan di lapangan tidak nampak upaya “jantan” dari pihak syi’ah untuk menebarkan literatur asli mazhabnya yang menjelaskan ajaran syi’ah apa adanya.
Praktek persatuan mazhab dimulai dengan studi komparasi antara ajaran kedua mazhab yang ada, baru bisa disimpulkan apakah kedua mazhab bisa dipersatukan atau tidak. Namun orang awam mustahil untuk melakukan ini, karena ajaran ahlussunnah dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun karena telah dimuat oleh buku-buku yang mudah didapat. Sebaliknya literatur syi’ah tidak dapat diakses kecuali oleh orang yang non awam, bahkan kalangan syi’ah yang tingkatan intermediate masih diragukan apakah mereka dapat mengaksesnya. Ini menimbulkan pertanyaan berbahaya yaitu dari mana penganut syi’ah mendapatkan ajarannya? Jangan-jangan penganut syi’ah hanya mendapatkan ajarannya dari “tangan ke sekian” tanpa pernah dibukakan akses ke sumber asli. Bisa jadi ajaran yang diakses dari “tangan ke sekian” tidak seperti ajaran murni “tangan pertama”. Bisa jadi ajaran syi’ah yang dibawa oleh “tangan ke sekian” berbeda dengan ajaran dari sumber asli.
Ketika kitab syi’ah susah diakses, maka jalan lain yang ada adalah dengan mengenal ajaran syi’ah dari mulut penganutnya. Tapi pengetahuan penganut syi’ah akan mazhabnya sendiri masih diragukan karena sebab di atas, yaitu susahnya mengakses literatur asli. Ditambah lagi ajaran taqiyah yang dianut oleh setiap penganut syi’ah jadi kita semakin susah untuk mengetahui kebenaran. Taqiyah adalah mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan hati. Dari mana kita tahu hal ini? Dari literatur syi’ah, At Thusi mengatakan:
Taqiyyah adalah menampakkan ucapan dengan lisan, apa yang berbeda dengan keyakinan yang ada dalam hati karena takut akan dibunuh… bagi kami, taqiyyah adalah wajib hukumnya ketika takut dibunuh… Tafsir At Tibyan jilid 2 hal 433.
Dari keterangan di atas sekilas kita tahu bahwa taqiyah hanya digunakan ketika takut dibunuh. Dari definisi ini mestinya taqiyah hanya digunakan ketika takut dibunuh, dan dilarang keras bertaqiyah dalam keadaan aman. Tetapi definisi di atas dibantah oleh literatur syi’ah sendiri yang mengatakan sebaliknya, bahwa dilarang keras meninggalkan taqiyyah, karena meninggalkan taqiyah sama statusnya dengan meninggalkan shalat. Bagaimana hal yang wajib hanya dilakukan ketika dalam keadaan bahaya? Buktinya Khomeini dalam bukunya jelas menyamakan mereka yang meninggalkan taqiyah dengan orang yang kafir pada para nabi. Bisa dilihat dalam kitab Al Makasib Al Muharramah jilid 2 hal 162.
Berarti menyembunyikan keyakinan bagi syi’ah adalah wajib, dari sini kita tahu bahwa kita tidak akan bisa mendapatkan keterangan valid tentang mazhab syi’ah dari mulut pelakunya. Contoh nyata keterangan penganut syi’ah yang berbeda dengan liteartur syi’ah sendiri adalah ucapan Jalaludin Rahmat dalam sebuah tulisan yang dimuat di buletin Pintu Ilmu –tentunya redaksi pintu ilmu sepakat dengan pendapat Jalaludin – mengatakan:
Memiliki pendapat, meyakininya dan menyebarkannya tidak dilarang dalam Islam. Yang diharamkan ialah menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai bibit perpecahan atau untuk mengklaim bahwa pendapat kita adalah satu-satunya kebenaran. Persatuan akan mudah dicapai antara dua hal yang mirip, atau memiliki banyak persamaan dan sedikit perbedaan, atau ketika terdapat perbedaan maka perbedaan itu bukanlah dalam hal yang prinsip.
Di sini kita akan menyimak ucapan ulama syi’ah yang melanggar prinsip Jalaludin di atas. Di antaranya:
Dalam Biharul Anwar jilid 23 hal 391, Majlisi mengatakan:
Seluruh penganut imamiyah sepakat bahwa siapa saja yang mengingkari imamah salah satu dari para imam dan menolak kewajiban yang digariskan Allah atasnya yaitu mentaati mereka, maka dia adalah kafir dan sesat, terancam masuk neraka kekal di dalamnya.
Di sini jelas bahwa penganut Imamiyah sepakat bahwa ahlussunnah adalah kafir, sesat dan layak masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Abdullah Al Mamaqani dalam Tanqihul Maqal mengatakan: Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa selain penganut syi’ah itsna asyriyah adalah kafir dan musyrik di akherat nanti. Khomeini –yang juga disebut orang sebagai imam- mengatakan dalam kitab Al Arba’un Haditsan hal 512:
Seperti disebutkan dalam hadits bahwa mengakui wilayah ahlulbait dan mengenal mereka adalah syarat diterimanya amalan, maka hal itu sudah disepakati, bahkan menjadi ajaran pokok mazhab syi’ah yang suci, dan hadits yang memuat hal itu melebihi kekuatau buku ini untuk menuliskan seluruhnya, dan lebih dari derajat mutawatir…
Di sini lebih jelas lagi, bukan hanya mengklaim dirinya yang benar tetapi juga menyatakan amalan ahlussunnah tertolak di akherat karena tidak mengakui 12 imam syi’ah. Dari sini perbedaan antara ahlussunnah dan syi’ah bukanlah sekedar perbedaan mazhab dalam hal furu’. Karena perbedaan pendapat dalam hal furu’ tidaklah menyebabkan orang jadi kafir. Sampai di sini pembaca mulai dapat mengukur jarak perbedaan yang ada.
Seorang ulama syi’ah bernama Ni’matullah Al Jazairi dengan tegas dan gamblang mengungkapkan sisi perbedaan antara syi’ah dan ahlussunnah:
Kami tidak mengakui tuhan, nabi dan imam yang mereka ikuti, karena mereka mengatakan: Tuhan mereka adalah yang mengutus Muhammad sebagai nabi, dan khalifah sepeninggalnya adalah Abu Bakar, kami tidak mengakui tuhan mereka, juga nabi mereka, kami mengatakan: Tuhan yang khalifah nabinya adalah Abu Bakar bukanlah tuhan kami, juga nabinya bukanlah nabi kami. Dapat dilihat dalam An Anwar An Nu’maniyah nilid 2 hal 279.
Artinya, ahlussunnah menyembah tuhan lain selain Allah, dan mengikuti nabi selain Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, ini karena ahlussunnah tidak mengakui adanya imamah, pokok penting dalam ajaran syi’ah. Artinya, ahlussunnah bukanlah orang Islam seperti yang dijelaskan di atas. Penjelasan ini membuat kita sadar bahwa perbedaan antara sunnah dan syi’ah adalah seperti berbedanya islam dan agama lain, karena ulama syi’ah menyebut mereka yang tidak mengakui imamah ahlul bait sebagai: kafir, menyembah tuhan lain dan tidak diterima amalnya. Kutipan ini hanyalah sedikit dari pernyataan ulama syi’ah, sengaja kami nukilkan sedikit saja karena tujuan kami hanyalah menerangkan perbedaan yang ada antara ahlussunnah dan syi’ah. Mungkinkah orang kafir bersatu dengan orang beriman? Mungkinkah ajaran islam disatukan dengan ajaran orang kafir? Jelas tidak mungkin. Barangkali kita sering mendengar bahwa konflik antara ahlussunnah dan syi’ah adalah disebabkan oleh provokasi musuh Islam. Perkataan ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah, karena jika memang provokator pertikaian ahlussunnah dan syi’ah dianggap sebagai musuh islam, apakah ucapan dan kutipan di atas mencerminkan semangat persatuan atau memantik pertikaian? Lalu apakah ulama yang mengatakan ucapan-ucapan di atas bisa dikatakan musuh Islam? Jelas ucapan mereka di atas memantik permusuhan, karena dengan jelas menganggap selain syi’ah sebagai kafir dan ditolak seluruh amal ibadahnya. Sebagaimana orang kristen memandang kaum muslimin adalah kafir, maka apakah salah jika dikatakan ahlussunnah menganggap syi’ah sebagai kafir karena anggapan syi’ah yang mengatakan bahwa selain syi’ah adalah kafir?
Ternyata ucapan ulama di atas masih tercantum dalam literatur syi’ah sampai hari ini, tidak pernah ada upaya untuk mengingkari dan mengadakan upaya reformasi terhadap ajaran yang memantik pertikaian ini. Mestinya Jalaludin Rahmat dan seluruh anak buahnya mereformasi dulu ajaran syi’ah baru memulai persatuan mazhab. Tetapi saya kira mereka tidak berkompeten untuk mengoreksi ulamanya sendiri, karena mengoreksi mereka berarti mengoreksi mazhab “ahlulbait”, yang salah satu ajaran pokoknya adalah imamah. Apalagi pendapat bahwa syarat diterimanya amalan adalah iman pada imamah ahlulbait, seperti kata khomeini di atas, juga merupakan pokok ajaran syi’ah yang suci. Menggugat pokok ajaran syi’ah yang suci berarti keluar dari syi’ah. Maka keyakinan ini mustahil untuk dikoreksi. Tinggal alibi-alibi yang selalu keluar dari mulut mereka, namun tidak akan dapat merubah kenyataan yang tertulis dalam buku mereka.