ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Mantan Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, menuduh militer berada di balik penangkapan terhadap dirinya pada Selasa (9/5/2023) lalu. Menurut Khan, penangkapan itu bermotif dendam pribadi.
“Itu pribadi, tidak ada hubungannya dengan kepentingan nasional,” kata Khan kepada The Guardian (15/5).
Ia menambahkan, “Tak diragukan lagi, militer berada di balik penangkapan saya. Pakistan sekarang dijalankan oleh panglima militer. Tindakan keras terhadap kami dilakukan oleh panglima militer.”
Khan dibebaskan dari tahanan polisi pada Jumat (12/5) malam waktu setempat, setelah hakim Mahkamah Agung Pakistan memutuskan bahwa penangkapan Khan ilegal dan tidak sah.
Eks PM berusia 70 tahun itu menuduh penangkapannya di Pengadilan Islamabad beserta tujuh anggota senior partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), sebagai tanda ‘kekuatan militer yang tak tertandingi’.
“Militer berada di atas hukum, ISI (badan intelijen militer) berada di atas hukum. Mereka bisa menjemput orang, menahan orang, menghilangkan orang. Mereka mencoba memengaruhi hakim, menekan media. Itu tidak demokratis,” ungkapnya.
Militer telah menguasai Pakistan dalam tiga babak kudeta sejak kemerdekaan. Militer juga punya pengaruh dan cengkeraman kuat pada politik Pakistan, selama pemerintahan sipil.
Hubungan Imran Khan dengan panglima militer Pakistan, Asim Munir, cukup sengit setelah ia memecat Munir dari pos intelijen militer tahun 2019 lalu, saat dia masih menjabat PM.
Khan menuduh Munir dan tokoh militer senior lain punya kepentingan pribadi untuk memastikan dirinya tak kembali berkuasa.
“Mereka tahu kami akan menyapu bersih pemilu, jadi mereka mencari alasan untuk memenjarakan saya,” kata Khan.
Karier politik Khan memang tak lepas dari ‘bantuan’ militer. Setelah berada dalam kubu oposisi selama lebih dari satu dekade sebagai pemimpin PTI, dia baru dipandang sebagai ‘pemimpin yang layak’ setelah didukung militer.
Dia terpilih sebagai PM pada tahun 2018. Selama dua tahun pertama pemerintahan, Khan dan militer bekerja sama dalam ‘rezim hibrida’, di mana militer memegang pos-pos kuat dalam pemerintahan yang dianggap sebagai penentu keputusan.
Namun seiring berjalannya waktu, Khan merasa semakin dikontrol oleh militer dan menuduh mereka telah memeras pemerintah.
Kebijakan Khan yang tak menentu serta kegagalannya untuk mencapai kesepakatan dengan International Monetary Fund juga semakin membuat militer ‘frustasi’.
Khan kemudian digulingkan dari kekuasaannya lewat Mosi Tidak Percaya. Dia lalu menuduh panglima militer kala itu, Jenderal Qamar javed Bajwa, sebagai dalang pelengserannya. (hanoum/arrahmah.id)