Oleh Ai Siti Nuraeni
Pegiat Literasi
Industri tekstil di Kabupaten Bandung, Jawa Barat tengah berada di titik nadir, ordernya kian sepi karena produk impor semakin membanjiri pasar dalam negeri. Imbasnya PHK massal menghantui para pekerja.
Pemerintah Kabupaten Bandung sudah mencari cara untuk mencegah hal itu terjadi dengan melakukan diskusi bersama APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan serikat pekerja. Namun, tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya karena kebijakan impor adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Maka, Dadang Supriatna selaku Bupati Bandung pun merasa perlu menyampaikan masalah ini pada Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, agar ada solusi tuntas yang diberikan. (Ayobandung.com, 7/6/2024)
Kondisi mengkhawatirkan ini bisa digambarkan dengan nasib para pengusaha tekstil di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Dulu, di sana adalah sentra penghasil tekstil yang cukup besar bahkan pernah menyuplai 40 persen kebutuhan dalam negeri. Para pengusaha lokal ini memiliki penghasilan yang besar karena banyaknya permintaan dalam juga luar negeri seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat. Sehingga disebut kota Dollar karena banyaknya pendapatan yang diraih. (Bandung.kompas.com,20/12/2023)
Sayangnya kejayaan tersebut tidak bisa dipertahankan karena pengusaha dibebani banyak kenaikan biaya produksi seperti upah pekerja, bahan baku, hingga tarif listrik. Kondisi diperparah dengan menurunnya permintaan pasar, serbuan barang impor juga predatory pricing yang dilakukan di media sosial. Semua itu berdampak pada menurunnya produksi dan terjadilah pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal kualitas produk dalam negeri lebih baik daripada produk luar yang terlalu dihargai murah.
Sejak 2016, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi telah berupaya untuk menghindari PHK seperti; membuat program investasi padat karya yang dilakukan oleh 40 perusahaan, membuat skema kewirausahaan dan keterampilan untuk bekerja dalam sektor lain, memberdayakan pekerja disabilitas setidaknya sebanyak 20 persen, meningkatkan kompetensi dengan membuka balai pelatihan kerja, dan memperbanyak bursa kerja yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pemerintah menutup keran impor pakaian bekas ilegal, membuka tutup kebijakan impor, membantu perusahaan melakukan audit energi supaya bisa melakukan efisiensi energi saat pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, mempermudah pengurusan Surat Izin Usaha (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), serta membantu pengusaha agar mendapatkan SNI yang dirasa mampu menaikkan nilai jual dari produk lokal. Ini semua yang dianggap sebagai masalah yang menyebabkan industri tekstil tumbang.
Namun, solusi tersebut tidaklah cukup, sebab belum menyentuh permasalahan inti yang bermuara pada tiga hal. Pertama, pemerintah tidak mampu memberikan dukungan yang penuh kepada pengusaha tekstil di dalam negeri. Akibatnya, mereka tidak bisa menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang murah. Mereka juga kesulitan dalam melakukan ekspor karena produknya kalah saing dengan produk negara luar. Malah sebaliknya, pemerintah memperberat ongkos produksi dengan menaikkan tarif daya dan tidak memberikan kelonggaran dalam pembayaran pajak.
Kedua, negara belum mampu berlepas diri dari kebijakan impor dan tekanan para importir. Kebijakan buka dan tutup impor membuktikan kelemahan negara di hadapan negara-negara yang menginginkan pasar dibuka sebebas-bebasnya. Sedangkan dalam waktu bersamaan, negara kewalahan dengan respon masyarakat yang meminta untuk melindungi industri domestik. Tapi pada akhirnya pemerintah tetap membuka peluang impor karena kapitalisme telah mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada materi daripada pengelolaan urusan rakyat.
Ketiga, penerapan sistem ekonomi kapitalistik dkm aktivitas produksi dan distribusi. Hal ini berdampak pada monopoli pasar yang dilakukan pengusaha bermodal besar, sementara negara yang harusnya pro pada pengusaha kecil justru memihak para kapitalis dengan regulasi dan fasilitasnya
Berbeda halnya jika Islam yang mengatur kehidupan bernegara termasuk dalam ekonominya. Islam memandang bahwa politik adalah kegiatan untuk mengurus urusan masyarakat berdasarkan hukum Islam. Oleh karenanya, negara tidak akan berlepas diri dari persoalan apapun termasuk perdagangan dalam dan luar negeri. Negara dalam Islam akan membantu memperkuat industri dalam negeri, entah dengan memberikan modal, pinjaman tanpa bunga, pelatihan, regulasi yang tidak memberatkan atau hal lain yang dibutuhkan oleh rakyat yang menjadi pengusaha.
Selanjutnya negara hanya akan memberlakukan impor bagi barang-barang yang memang diperlukan oleh warga negara namun tidak bisa dicukupi oleh industri dalam negeri. Kebijakan ini pun tidak akan diberlakukan selamanya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja. Selanjutnya negara akan mengupdate dan mengembangkan kemampuan industri serta teknologi dalam negeri, agar negara bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.
Hal itu tidak lain karena pemimpin dalam Islam menyadari bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas pengaturannya dalam negara.
Rasulullah saw. bersabda:
“Semua orang dari kalian itu adalah pengembala dan semuanya akan ditanya perihal pengembalaannya. Seorang amir (pemimpin) adalah pengembala, seorang lelaki juga pengembala pada keluarga rumahnya, perempuan pun pengembala pada rumah suaminya serta anaknya. Maka dari itu semua orang dari kalian adalah pengembala dan semua saja akan ditanya perihal penggembalaannya”. (Muttafaq alaih)
Negara pun akan mengelola sumber daya alam secara mandiri, hasilnya didistribusikan berupa kesehatan, keamanan, pendidikan yang gratis. Pengelolaan sumber daya secara mandiri ini juga yang akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sehingga bukan hanya industri teksil yang menjadi satu-satunya andalan mata pencaharian rakyat. Dengan begitu, maka semua laki-laki yang telah balig dapat bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Di sisi lain, sistem ekonomi Islam juga akan melarang sektor ekonomi non-riil misalnya perbankan, saham, obligasi dan lain sebagainya. Semua ini agar atmosfer bisnis dalam negeri tetap berjalan sehat.
Demikianlah, Islam menetapkan bahwa negara tidak akan membiarkan rakyat menghidupi kebutuhannya dengan berjuang sendiri. Namun, negara memberikan pelayanan dan berbagai kemudahan agar mereka dapat memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan hidup. Hanya negara yang menerapkan sistem Islam yang mampu meminimalisir PHK massal dan mencegah menjamurnya impor yang mematikan ekonomi rakyat.
Wallahu a’lam bish shawaab