Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Lagi dan lagi, Indonesia melakukan impor beras. Presiden Joko Widodo mengungkapkan, jika Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk negeri ini bertambah banyak dan kebutuhan beras semakin meningkat. Ia menuturkan setidaknya 4-4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun, sehingga kebutuhan akan pangan setiap tahun akan bertambah.
Di sisi lain, presiden mengapresiasi produksi jagung yang terus meningkat hingga mengurangi pada ketergantungan dari impor. Mulai dari 3,7 juta ton jagung impor, terus berkurang sampai 800 ribu ton. Meskipun jagung sedikit demi sedikit hasilnya kian bertambah, namun beras masih mengandalkan impor untuk mencapai target kebutuhan pangan. Jadi menurut presiden, produksinya harus dikejar agar tidak impor. Jawa Timur menjadi salah satu target kedua terbesar di Indonesia dalam hal produksi beras. Sehingga jika ada surplus beras bisa dijadikan cadangan strategis pemerintah, hingga diekspor ke negara yang membutuhkan. (cbcnindonesia.com 02 Januari 2024)
Impor Keputusan Gegabah
Rencana pemerintah untuk impor beras tahun ini demi terpenuhinya swasembada beras menuai penolakan dari kalangan serikat petani. Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, pihaknya dalam waktu dekat akan menggelar aksi unjuk rasa menolak impor beras di tahun ini. Ia menjelaskan, jika dilakukan impor beras dikhawatirkan akan memukul harga gabah saat panen raya mendatang. (bisnis.com, 09 Januari 2024)
Terlebih, menurut peneliti Centre of Reform Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Sebab, kebutuhan beras awal tahun 2024 masih bisa dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Per Desember 2023, stok bulog masih 1,6 juta ton beras, di IDF Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional perbulan berkisar 2,5 juta ton.
Sedangkan alasan impor adalah karena cadangan beras harus 20 persen dari kebutuhan nasional. Jika berkaca pada apa yang disampaikan Eliza, semua bisa terpenuhi. Lantas mengapa pemerintah masih bersikukuh untuk impor beras, se dangkan kebutuhan beras masih dalam kondisi aman ? Seharusnya pemerintah tidak menutup mata dan telinga dengan konsekuensi impor yang terus-menerus, sebab hal tersebut dapat merugikan petani dan berdampak pada hilangnya kedaulatan pangan nasional.
Kacamata Kapitalisme
Melihat stok beras yang terkategori aman bagi masyarakat, sedangkan pada faktanya masih banyak warga yang kesulitan mengakses beras, dapat disimpulkan bahwa problem utamanya bukan terletak pada produksi melainkan manajemen distribusi yang karut-marut. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa 90 persen distribusi beras dikuasai pihak swasta. Jika sudah seperti ini, keuntungan materi yang jadi tujuan utamanya bukan untuk mencukupi kebutuhan dasar rakyat. Maka wajar jika orang miskin sangat sulit memperolehnya.
Inilah sebenarnya akar persoalan pangan yang terus membelit, yakni distribusi. Andai saja distribusi dikelola secara mandiri oleh negara tanpa melibatkan pihak lain, maka dapat dipastikan seluruh warga akan mudah memperoleh pangan dengan harga terjangkau untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi sangat disayangkan, tata kelola negeri ini bersandar pada kacamata kapitalisme. Di mana semua diukur berdasarkan pada profit semata.
Semua terjadi disebabkan ketiadaan peran negara dalam sistem ekonomi kapitalisme. Posisi penguasa saat ini sebatas regulator yang menghubungkan rakyat dengan penguasa, bukan pengurus rakyat. Sehingga wajar jika solusi pragmatis yang diambil negara melalui jalan impor ketika keuntungan yang dikejar. Seharusnya, negara berupaya keras untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah yang menyelesaikan. Akan tetapi hal ini sangat mustahil, sebab kita hidup di alam kapitalisme yang memberi ruang sebesar-besarnya bagi para pemilik modal untuk mengatur urusan hajat rakyat. Karena paradigmanya meraih untung sebanyak-banyaknya, maka impor menjadi solusi praktis untuk memenuhi kantong para kapital. Sedangkan rakyat terus-menerus hidup dalam penderitaan dan kesulitan. Ditambah lagi, ketersediaan lahan pertanian yang kian sempit di tengah gempuran alih fungsi lahan. Hal tersebut membuat petani beralih profesi dan sangat sulit petani mempertahankannya.
Tata kelola yang bercorak kapitalistik sangat mustahil mewujudkan swasembada pangan. Produksi pangan tidak akan mungkin massif, sebab liberalisasi kepemilikan lahan menjadikan para petani kehilangan tanah garapannya. Begitu juga dengan aspek distribusi yang menjadi pangkal persoalan, karena dalam sistem ini swastalah yang jadi penguasanya. Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme masih menguasai, impor beras akan terus terjadi dan kedaulatan pangan tidak akan tercapai.
Tata Kelola Berlandaskan Islam
Rakyat tentu menginginkan berada dalam kehidupan yang sejahtera dan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasarnya. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya kezaliman sistemik dirasakan rakyat, di mana negaralah aktornya dan kapitalisme global sebagai pemandunya. Maka dari itu caranya hanya satu, bahkan ini metode satu-satunya sebagai jalan perubahan yang revolusioner. Karena tanpanya, perubahan-perubahan yang dimaksud hanya akan bersifat parsial dan tak akan mampu menuntaskan berbagai problem termasuk ketahanan pangan hingga ke akar.
Segala problem yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sejatinya dikarenakan belum diterapkannya sistem yang mengatur alam semesta, manusia, dan kehidupan yakni Islam. Sistem yang menawarkan kebaikan dan solusi hakiki bagi rakyat hanyalah sistem Islam, yang berasal dari Zat Yang Maha Baik, Maha Menciptakan semesta beserta isinya, Yang Maha mengetahui apa yang terbaik bagi setiap makhlukNya.
Islam memandang terkait persoalan pangan merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan di dalamnya. Oleh karena itu, negara akan menjalankan perannya dan akan mencari jalan agar kedaulatan pangan terwujud. Hal tersebut akan dilakukan negara melalui mekanisme yang khas dan telah terbukti menjadikan negara berdaulat tanpa bergantung dengan negara lain.
Adapun mekanisme Islam dalam menciptakan swasembada pangan di antaranya, pertama, memosisikan penguasa sebagai pengurus rakyat. Mulai produksi hingga distribusi ada di bawah pengelolaan negara. Kalaupun pihak swasta terlibat, semua berada di bawah kendali negara dan tetap dalam pengawasannya. Penguasa harus benar-benar memastikan setiap warganya dapat mengakses pangan. Sehingga, perangkat negara mulai dari level bawah sekelas RT sampai pusat bersinergi untuk memenuhi seluruh hak warga. Jika ada warga yang tidak sanggup membeli beras, kewajiban negara memberikan bantuan hingga mereka mampu mencukupi kebutuhannya.
Kedua, swasembada pangan dilakukan semata untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam kondisi tertentu, seperti paceklik atau bencana alam dan lainnya yang membuat stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil sesuai aturan syariat terkait dengan perdagangan luar negeri.
Ketiga, syariat Islam mengganjar dengan pahala yang besar bagi siapa saja yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ‘awafi, maka ia sedekah baginya.” (HR. Ad-Darimi dan Ahmad).
Syariat pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih tanah tersebut dan memberikan pada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan selama tiga tahun.
Aturan Islam dengan mekanisme pengelolaan lahan yang mudah dan bijaksana, mampu memilah sesuai kepemilikannya. Jika hal tersebut dikelola dan diatur secara langsung oleh negara, gairah para petani untuk menghasilkan produk-produk beras berkualitas dan banyak akan tercapai. Ditambah lagi dukungan negara dengan menyediakan pupuk, bibit padi unggulan, sarana dan prasarana bertani tentu akan membantu para petani secara mudah. Apalagi harga pupuk dan bibit padi murah, bahkan gratis, sangat membantu dalam menghasilkan beras unggulan pula. Dengan demikian, swasembada beras akan mampu terealisasi karena negara mengatur, mengelola, mengawasi, dan memberi dukungan. Sehingga kemungkinan kecil akan melakukan impor beras, sebab ketersediaan pangan dalam negeri melimpah dan seluruh warga hidup dalam kesejahteraan. Inilah wujud nyata ketika negara menerapkan sistem Islam.
Wallahua’lam bish shawab.