JAKARTA (Arrahmah.com) – Judicial review yang diajukan kelompok masyarakat yang menguji Pasal 284, 285 dan 292 KUHP telah memasuki tahap pembuktian. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memandang perlu pengaturan yang lebih luas dalam KUHP.
Fitrah Bukhari, Sekretaris DPP IMM Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman mengatakan, norma yang tercantum dalam KUHP merupakan penerapan asas individualitas yang dipaksakan Belanda di Indonesia melalui asas konkordansi. Karenanya, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai komunalitas yang berdasarkan nilai keagamaan maka norma dalam pasal-pasal tersebut pantas untuk diluaskan.
“Tidak ada yang salah jika MK mengeluarkan putusan yang progresif, seperti menghukum pelaku zina, pemerkosaan sesama jenis maupun tindakan cabul yang dilakukan dari jenis kelamin yang sama,” kata Fitrah.
Menurutnya, hal ini telah sesuai dengan nilai keagamaan dalam bingkai Pancasila dan UUD NRI 1945. Sejak kelahirannya, founding people menyadari RI ditopang oleh nilai-nilai keagamaan. Karenanya, segala hal yang ada di Indonesia, utamanya hukum positif sedapat mungkin berada dalam bingkai nilai-nilai keagamaan. Ia mangatakan, “judicial review ini merupakan pintu masuk bagi MK untuk secara perlahan melakukan pembaharuan hukum di Indonesia agar lebih sesuai dengan kondisi masyarakat ketimuran khas Indonesia.”
“MK, dapat berperan seperti yang diungkap Roscoe Pound, Law is a tool of social engineering hukum adalah alat untuk rekayasa masyarakat karenanya penting difikirkan agar hukum yang ada di Indonesia dapat menjadi alat bagi perbaikan kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara”, Sambung Mahasiswa Program Doktor Hukum UII ini.
Pasal 284 KUHP mengatur bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada pelaku zina adalah jika diantara salah satu pasangan telah menikah. Pasal ini tidak mampu menjangkau pasangan yang belum menikah yang marak terjadi belakangan.
Pasal 285 KUHP memiliki kelemahan yakni hanya mencakup kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan pria. Pasal tersebut tidak memenuhi unsur jika perempuan yang memperkosa lelaki atau lelaki dengan lelaki.
Sedangkan pasal 292 KUHP hanya mengatur perilaku cabul yang dilakukan terhadap pelaku dewasa kepada yang belum dewasa dari jenis yang sama. Pasal ini belum mengatur secara tegas bagaimana jika pelaku sesama jenis belum dewasa maupun sesama pelaku dewasa.
“Hal ini penting untuk diluaskan, karena ketiga pasal dalam KUHP tersebut tidak mencerminkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta tidak memenuhi asas kepastian hukum yang dijamin dalam UUD NRI 1945 Pasal 28D (1) yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,’ “,kata dia.
(azm/arrahmah.com)