KABUL (Arrahmah.com) – Kekerasan terhadap sipil di Afghanistan telah naik ke tingkat tertinggi sejak jatuhnya Taliban pada 2001, ujar sebuah laporan yang dirilis Rabu (9/3/2011) oleh Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA).
Jumlah kematian sipil akibat pertempuran di negara itu meningkat sebesar 15 persen pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2009, menurut laporan itu yang datang setelah tentara salibis koalisi menewaskan sembilan bocah Afghan di provinsi Kunar dan memicu demonstrasi di Kabul.
Seperti yang biasa dilakukan UNAMA, meningkatnya kematian sipil Afghan, menurut laporan mereka, lebih banyak disebabkan oleh operasi militer Mujahidin Afghan, bukan operasi militer tentara Afghanistan dan tentara salibis asing. Masih menurut UNAMA, pasukan penjajah hanya bertanggung jawab 16 persen dan serangan Mujahidin menyumbang 75 persen kematian warga sipil. Jika benar apa yang dilaporkan UNAMA, anehnya mengapa rakyat Afghan lebih memilih untuk berdiri di sisi Mujahidin ketimbang tentara asing dan Afghan? Mengapa sentimen anti-AS dan NATO terus meningkat di negara yang dilanda perang tersebut?
Laporan ini juga menggarisbawahi “kesulitan” yang dihadapi pasukan internasional. Bahkan ketika mereka “berupaya” untuk meminimalkan korban sipil.
Peningkatan jumlah korban sipil sebanding dengan penambahan pasukan asing yang didatangkan ke Afghanistan. Selain itu, sebanding dengan operasi yang dilakukan tentara asing. Misalnya, pada November lalu, pesawat AS mengeluarkan 880 senjata, jauh lebih tinggi dari November tahun 2009 yang hanya berjumlah 271. Dengan pengecualian Desember, rilis senjata meningkat setiap bulannya di tahun ini sejak Juni jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Amerika telah gagal memenangkan “hati dan pikiran” rakyat Afghan. “Bagi saya, satu-satunya kesimpulan adalah bahwa ia telah menyerah ‘memenangkan hati dan pikiran’ rakyat Afghan.” Karena aspek ini telah dianggap inti dari setiap strategi sukses kontra-pemberontakan (COIN),” ujar Thomas Ruttiq, direktur Jaringan Pengamat Afghanistan. (haninmazaya/arrahmah.com)