KABUL (Arrahmah.id) – Imarah Islam Afghanistan dalam sebuah dokumen kepada PBB mengartikulasikan sikapnya terhadap penilaian situasi Afghanistan yang dilakukan oleh tim PBB, mengatakan bahwa mereka menyambut baik rekomendasi yang mendukung penguatan ekonomi nasional negara tersebut dan pembukaan jalur menuju pengakuan pemerintah saat ini dan “mendorong konektivitas regional dan transit melalui Afghanistan.”
Namun, dokumen tersebut menekankan bahwa Afghanistan “tidak boleh dipandang sebagai zona konflik di mana solusi politik yang dipaksakan oleh pihak asing seperti dialog intra-Afghanistan dianggap perlu, dan waktu masyarakat internasional juga tidak boleh disia-siakan untuk upaya-upaya semacam itu.”
Sebelumnya, dalam sebuah dokumen yang diakses Tolo News, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah penilaian kepada DK PBB, memberikan sejumlah rekomendasi untuk reintegrasi Afghanistan ke dalam komunitas internasional.
Rekomendasi tersebut termasuk membangun kepercayaan diri dengan memenuhi kebutuhan mendesak warga Afghanistan, melanjutkan kerja sama dalam isu-isu keamanan, regional dan politik utama, peta jalan untuk reintegrasi negara Afghanistan ke dalam sistem internasional dan mekanisme untuk mendukung keterlibatan, lansir Tolo News (21/11/2023).
Guterres juga menyerukan penunjukan utusan PBB yang baru dan dimulainya negosiasi intra-Afghanistan untuk menghasilkan pembentukan pemerintahan yang inklusif.
Namun, dalam dokumen yang ditulis Imarah Islam, yang ditujukan kepada PBB, menekankan bahwa pembentukan mekanisme paralel oleh PBB tidak dapat diterima.
Juru bicara Imarah Islam, Zabiullah Mujahid, dalam sebuah pesan suara kepada Tolo News mengonfirmasi keakuratan dokumen tersebut.
“Ya, kami mengonfirmasikannya. Kementerian Luar Negeri mengirimkannya ke PBB,” katanya.
Dokumen tersebut mengatakan bahwa Afghanistan memiliki pemerintah pusat yang kuat yang sangat mampu secara independen mengelola urusan dalam negerinya serta melakukan diplomasinya sendiri, “oleh karena itu pembentukan mekanisme paralel oleh PBB seperti Utusan Khusus tidak dapat diterima.”
Dokumen tersebut mencatat bahwa Afghanistan tidak boleh dipandang sebagai sebuah kekosongan politik atau ruang yang tidak diperintah.
Dokumen tersebut menyatakan bahwa pemerintah Afghanistan “berkewajiban untuk mempertimbangkan nilai-nilai agama dan kepentingan nasional negara dalam semua keterlibatannya dan tidak akan mengizinkan siapa pun untuk mencampuri urusan dalam negeri.”
Dokumen ini juga menyoroti situasi hak asasi manusia, keamanan regional, narkotika, dan inklusivitas pemerintah Afghanistan.
Dokumen tersebut mencatat bahwa pemerintah Afghanistan akan terus berusaha untuk memperluas susunan pemerintahan semaksimal mungkin, tetapi menekankan bahwa setiap usaha untuk mengembalikan “tokoh-tokoh yang gagal di masa lalu atau membentuk pemerintahan berbasis saham akan bertentangan dengan hukum.”
“Perlu juga dicatat bahwa bersama dengan berbagai isu lainnya, definisi inklusivitas sangat bervariasi antara warga Afghanistan dan beberapa orang asing,” tulis dokumen tersebut.
Menurut dokumen tersebut, sekitar 23,4% dari seluruh pegawai negeri adalah perempuan.
Dokumen tersebut mengatakan bahwa selama dua tahun terakhir, tidak ada insiden keamanan yang terjadi di mana sumbernya berada di Afghanistan dan bahwa pemerintah telah membentuk pasukan keamanan yang besar dan terlatih dengan baik yang secara efektif memberikan keamanan dan memerangi ISIS.
“Terlepas dari sanksi sepihak, jahat, dan ilegal, Imarah Islam tidak hanya menyelamatkan ekonomi nasional dari kehancuran total, tetapi juga meluncurkan proyek-proyek infrastruktur yang besar,” kata dokumen tersebut. (haninmazaya/arrahmah.id)