KABUL (Arrahmah.id) – Sebagai reaksi atas laporan tim pemantau dan analisis komite sanksi Dewan Keamanan PBB tentang situasi di Afghanistan, Imarah Islam dalam sebuah pernyataan pada Ahad (11/6/2023) menyebut temuan laporan tersebut “bias dan jauh dari kenyataan.”
“Imarah Islam Afghanistan menganggap kelanjutan sanksi Dewan Keamanan PBB dan laporan semacam itu penuh dengan prasangka dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan dan non-intervensi, dan menyerukan untuk mengakhirinya,” kata juru bicara Imarah Islam Afghanistan, Zabiullah Mujahid, dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Tolo News.
Pernyataan tersebut menambahkan bahwa tuduhan-tuduhan dalam laporan tersebut “tidak berdasar” dan menunjukkan “permusuhan yang jelas dengan rakyat Afghanistan serta pengulangan propaganda tak berdasar selama 20 tahun terakhir.”
Mujahid mengatakan bahwa Imarah Islam berkomitmen terhadap janji-janjinya dan bahwa tidak ada ancaman dari Afghanistan terhadap negara-negara tetangga, regional dan dunia.
Para analis mengatakan bahwa Imarah Islam dan PBB harus menyelesaikan masalah mereka melalui organisasi yang tidak memihak.
“Cara terbaik bagi pemerintah saat ini adalah mencapai kesimpulan untuk menambah lebih banyak orang di jajaran pemerintahan yang lebih tinggi,” kata Torek Farhadi, seorang analis urusan politik.
“Daripada laporan-laporan dan tuduhan-tuduhan yang saling bertentangan ini, sebuah kelompok yang tidak memihak harus ditunjuk untuk mengetahui pihak mana yang tidak berkomitmen pada perjanjian Doha dan setelah itu, keprihatinan dari kedua belah pihak harus ditangani,” kata Sadiq Shinwari, seorang analis urusan militer.
“Pemerintah saat ini harus mengambil langkah-langkah praktis terhadap komunitas internasional dan ketidakpercayaan antara kedua belah pihak akan terpecahkan,” kata Najib Rahman Shamal, seorang analis urusan politik.
Pada Sabtu, sebuah laporan tahunan oleh Tim Pemantau Dukungan Analitik dan Sanksi PBB untuk Komite Dewan Keamanan PBB mengkritik apa yang dianggap sebagai kembalinya Imarah Islam ke kebijakan “pengecualian” pada akhir tahun 1990-an. (haninmazaya/arrahmah.id)