KAIRO (Arrahmah.com) – Ikhwanul Muslimin telah menyerukan pembentukan kelompok oposisi Mesir di luar negeri untuk membantu mendapatkan kembali kendali negara setelah kudeta militer pada bulan Juli 2013 mengirimkan Abdel Fattah el-Sisi ke dalam tampuk kekuasaan, Al Jazeera melansir, Senin (28/1/2019).
Dalam sebuah pernyataan yang menandai peringatan delapan tahun revolusi 25 Januari 2011, kelompok yang dilarang di Mesir itu mengatakan tujuan dari oposisi yang bersatu adalah untuk membebaskan Mesir dari pemerintahan militer dan untuk membebaskan tahanan politik dari penjara.
Ikhwanul Muslimin – kelompok Islam tertua dan paling berpengaruh di Mesir – meminta hakim ekspatriat Mesir untuk mengambil alih kepemimpinan badan konstituante, menunjukkan bahwa individu atau kelompok di luar negeri dapat membantu pekerjaan oposisi di dalam negeri.
Demi kepentingan revolusi Mesir dan untuk melindungi oposisi, pernyataan itu juga menekankan perlunya menjauh dari mereka yang menganjurkan penggunaan kekerasan.
IM menyoroti artikel-artikel Konstitusi 1923 yang berkaitan dengan kebebasan individu dan publik, khususnya independensi peradilan.
Ikhwanul Muslimin dicap sebagai “kelompok teroris” oleh pemerintah Mesir pada Desember 2013. Dana dan aset milik anggotanya juga disita. Ratusan pendukung ditangkap dengan banyak di antaranya yang menghadapi hukuman mati.
IM menolak pemerintahan Sisi dan mengatakan akan kembali ke arena politik dengan dukungan rakyat. Namun, Sisi mengesahkan undang-undang yang melarang demonstrasi tanpa persetujuan polisi sebelumnya, demi menghambat gerakan protes.
Pembela hak asasi manusia, kelompok masyarakat sipil, dan LSM juga menjadi sasaran.
Human Rights Watch memperkirakan Mesir telah memenjarakan sebanyak 60.000 aktivis politik, jumlah yang dibantah oleh pendukung Sisi.
Sisi berkuasa menyusul kudeta yang menggulingkan presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis Mohamed Morsi, seorang pemimpin Ikhwan, pada 2013. Juni lalu, Sisi memulai masa jabatan empat tahun kedua setelah pemilihan yang membuatnya meraih 97 persen suara.
Kelompok hak asasi Amnesti Internasional mengatakan pekan lalu negara itu menjadi lebih berbahaya dalam sejarahnya bagi siapa pun yang secara terbuka mengkritik pemerintah.
Pemerintah Mesir menangkap sedikitnya 113 orang pada 2018 karena mengekspresikan pandangan mereka secara damai, lapor Amnesti.
Mereka yang berani mengkritik pemerintah dikirim ke penjara, sering ditahan di sel isolasi atau mengalami penghilangan paksa.
Sisi membantah keberadaan tahanan politik di Mesir, dengan alasan semua orang yang ditahan menghadapi proses hukum.
Pemberontakan 2011 membawa jutaan orang Mesir ke jalan-jalan dan memaksa pemimpin lama Hosni Mubarak untuk mundur. Tetapi gerakan ini telah banyak difitnah oleh Sisi dan media pro-pemerintah sejak pengambilalihannya. (Althaf/arrahmah.com)