KAIRO (Arrahmah.com) – Sudah enam dekade sejak pertama kali kaum perempuan dari Ikhwanul Muslimin berkumpul bersama-sama, tetapi sebagai gerakan Islam terbesar di Mesir dan sebagai salah satu organisasi yang paling muncul dalam kancah perpolitikan negara itu, Ikhwanul Muslimin seperti ingin menunjukkan wajah moderatnya, lapor JPost.com pada Selasa (5/7/2011).
Pada hari Sabtu pekan lalu, sekitar 2.000 aktivis perempuan IM dari seluruh Mesir berkumpul di Universitas Al-Azhar Kairo untuk melakukan sebuah konferensi informal yang dijuluki dengan “Akhawatul Muslimin”. Auditorium Universitas Al Azhar terisi penuh dengan perempuan berkerudung putih dan membawa bendera hijau.
“Anda harus berkiprah di semua bidang – politik, sosial, dan pendidikan,” kata Muhammad Badie, ketua Ikhwanul Muslimin, di hadapan peserta konferensi satu hari yang tertutup untuk pers. “Semoga Anda bisa membantu saudara-saudara Anda dengan pengetahuan, visi, dan saran yang Anda miliki.”
Aaliya Al-Hudeibi, seorang peserta konferensi, mengatakan kepada situs Ikhwanul Muslim bahwa dia merasa bangga tak terkatakan sambil memuji ‘konsistensi’ partai tempat ia bergabung. Ia mengaku tak lagi merasa sendirian setelah konferensi tersebut.
Sejumlah analis mengatakan upaya untuk menonjolkan profil aktivis perempuan IM ini bertujuan untuk meredakan kekhawatiran bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi ‘ekstrimis’ yang bertekad mengubah Mesir menjadi negara Islam yang bermusuhan dengan Israel dan Barat.
“Ada tujuan politis tertentu dalam pembicaraan mengenai diberikannya peran yang lebih besar bagi kaum perempuan dalam dalam Ikhwanul Muslimin,” kata Gamal Abd Al-Gawad, direktur Pusat Studi Politik dan Strategis Al Ahram di Kairo, dikutip Media Line. “Tapi ini hanyalah ‘kosmetik’. Mereka tidak akan berpartisipasi dalam politik yang nyata.”
Shadi Hamid, direktur penelitian di Brookings Doha Center di Qatar, mengatakan Ikhwanul Muslimin belum dikatakan cukup mendukung perempuan, karena mereka tidak diizinkan untuk menghabiskan kiprahnya di dalam kantor.
Analis lain menganggap konferensi yang bertopik “Perempuan: Dari Revolusi menuju Kebangkitan” itu hanya memberikan sedikit resolusi yang lebih memperlihatkan bahwa Ikhwanul Muslimin memberikan kesempatan bagi perempuan berperan lebih besar, baik dalam organisasi atau dalam kehidupan publik.
Hal ini disimpulkan dari pernyataan penutup konferensi yang tidak menyebutkan adanya keputusan partisipasi politik perempuan. Ikhwanul Muslimin, menurut para pengamat, hanya mendesak perempuan untuk memberikan pendidikan dalam fondasi keluarga.
Namun demikian, Aaida Saad Ahmad, seorang anggota perempuan Ikhwanul Muslimin, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa perempuan memiliki kemampuan politis yang tidak bisa disepelekan dari laki-laki. Ia menyebutkan peran kepemimpinan yang dimainkan perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW. (althaf/arrahmah.com)