TASIKMALAYA (Arrahmah.com) – Polemik yang muncul terkait Rancangan Undang-Undang Keadilan dan kesetaraan Gender (RUU – KKG) menurut MUI tidak lain merupakan benturan antara kelompok liberal yang mendukung RUU KKG karena mengacu kepada Hukum Internasional yang menafikan kepentingan nasional dengan kelompok penolak yang mengacu pada pentingnya menjaga dan memelihara nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk ajaran agama dan kebudayaan.
“Kelompok liberal sekaligus menafikan kepentingan nasional, karakter bangsa, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan kearifan lokal yang menjadi khazanah kekayaan masyarakat sejak ratusan tahun lalu” Bunyi fatwa tersebut seperti dibacakan pada penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI, di Ponpes cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu malam (1/7).
Menyikapi polemik tersebut, MUI melakukan kajian secara mendalam terhadap RUU KKG. Dari hasil pengkajian dan penelitian itu, MUI memutuskan menolak RUU KKG.
“Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV menyatakan bahwa RUU KKG bertentangan dengan ajaran agama Islam, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu Ijtima’ Ulama mendesak DPR untuk menarik kembali RUU tersebut serta tidak meneruskan proses RUU tersebut”, demikian bunyi keputusan itu.
MUI menguraikan tiga alasan pokok mengapa RUU KKG ditolak. Pertama, ada sejumlah dampak negatif bila RUU KKG disahkan, diantaranya:
Pertama, isteri mempunyai kedudukan dan peran yang sama dengan suami dalam rumah tangga, baik sebagai “kepala rumah tangga” dan pencari nafkah keluarga.
Kedua, akan mengubah besarnya bagian pembagian warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menjadi sama besar bagiannya; konsekuensinya hukum kewarisan Islam akan dihapus.
Ketiga, mengubah wali nikah di mana perempuan dimungkinkan menjadi wali nikah. Sementara keempat, membolehkan terjadinya perkawinan sejenis.
Kelima, membolehkan terjadinya poliandri, dan keenam, membuka penafsiran pengembangan pribadi termasuk homoseksual dan pengembangan lingkungan sosial termasuk komunitas homoseksual, gay, dan lesbian.
Yang kedua, menurut para ulama, RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai Barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika, dan moral.
“RUU KKG tidak mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila,” lanjut bunyi fatwa itu.
Demikian pula RUU KKG tidak mengacu, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, antara lain bertentangan dengan Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD 1945.
Selanjutnya, alasan ketiga, MUI berpandangan bahwa berbagai kebutuhan dan kepentingan serta hak-hak kaum perempuan telah terwadahi dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (bilal/arrahmah.com)