KABUL (Arrahmah.id) – Imarah Islam Afghanistan (IIA) sekali lagi meminta komunitas internasional untuk menghapus sanksi, dengan mengatakan bahwa hal itu diperlukan untuk memfasilitasi keterlibatan antara IIA dan komunitas internasional.
Dengan pengambilalihan kekuasaan oleh Imarah Islam atas Afghanistan pada 15 Agustus 2021, aset-aset Afghanistan yang berada di luar negeri dibekukan.
Pada Agustus 2022, Dewan Keamanan PBB gagal mencapai kesepakatan tentang apakah akan memperpanjang pengecualian perjalanan untuk 13 pejabat IIA.
Seperti yang dilaporkan Tolo News (9/7/2023), lebih dari $9 miliar aset dibekukan oleh AS dan negara-negara Eropa. Pembatasan ditempatkan pada sistem perbankan dan transfer uang ke luar negeri. Larangan bepergian juga diberlakukan pada 15 pejabat IIA.
Juru bicara IIA, Zabiullah Mujahid mengatakan bahwa pembatasan perjalanan para pemimpin IIA tidak menguntungkan pihak manapun.
“Sekitar 14 hingga 15 pejabat memiliki masalah dengan bepergian. Ini (larangan bepergian) sudah ada sebelumnya namun telah diperpanjang. Ini tidak menguntungkan pihak mana pun karena perjalanan para pemimpin diperlukan untuk keterlibatan dengan dunia dan pembangunan Afghanistan,” katanya.
Sementara itu, Kementerian Ekonomi mengatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan oleh komunitas internasional mempengaruhi kehidupan masyarakat Afghanistan.
“Pemberlakuan kebijakan tekanan dan sanksi oleh beberapa negara telah mempengaruhi warga negara kami,” kata Abdul Latif Nazari, wakil Menteri Ekonomi.
Namun para analis politik memberikan pendapat yang beragam mengenai sanksi terhadap para pemimpin IIA.
“Jika Taliban [Imarah Islam Afghanistan] mau, mereka dapat membawa reformasi sebagai pemerintahan yang independen dan menerima syarat-syarat untuk keluar dari daftar hitam dan larangan bepergian,” kata Aziz Maarij, seorang analis politik.
“Mata uang Afghanistan berada dalam posisi yang baik karena adanya simpanan strategis aset-aset Afghanistan yang menjamin nilai internasional mata uang Afghanistan, meskipun mata uang ini dibekukan,” kata Azeraksh Hafizi, seorang ekonom. (haninmazaya/arrahmah.id)