KABUL (Arrahmah.id) – Imarah Islam Afghanistan pada Kamis (20/2/2025) menyebut Afghanistan bergabung dengan Statuta Roma “tanpa keabsahan hukum,” menambahkan bahwa mereka tidak memiliki kewajiban hukum kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), seperti dilaporkan Anadolu.
Pernyataan itu muncul setelah Karim Khan, kepala jaksa ICC, bulan lalu mengajukan dua surat perintah penangkapan untuk pemimpin tertinggi Imarah Islam, Hibatullah Akhundzada dan Abdul Hakim Haqqani, kepala hakim Afghanistan.
Namun, Imarah Islam menolak langkah itu, menyebutnya “bermotif politik.”
Statuta Roma adalah perjanjian tahun 1998 yang membentuk ICC. Sekitar 125 negara bangsa menjadi pihak dalam statuta tersebut.
Setelah Afghanistan diserbu oleh pasukan asing pada 2001, pemerintahan yang didukung Barat pada 2003 bergabung dengan Statuta Roma.
Namun wakil juru bicara Imarah Islam Hamdullah Fitrat mengatakan di X: “Di banyak negara, termasuk Afghanistan, jutaan warga sipil yang tidak bersalah -terutama wanita dan anak-anak- telah menderita penindasan dan menjadi sasaran tindakan kekerasan. Namun, ‘pengadilan’ ini secara mencolok gagal menangani ketidakadilan yang mengerikan ini.”
Fitrat mengatakan ICC “tidak melakukan tindakan substantif apa pun terhadap kejahatan perang yang dilakukan di Afghanistan oleh pasukan pendudukan dan sekutunya.”
“Pelanggaran ini termasuk penghancuran besar-besaran desa, lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, dan upacara pernikahan. Ribuan wanita, anak-anak, orang tua, dan bahkan tahanan telah menjadi martir, namun ‘pengadilan’ ini tidak memulai penyelidikan atau berusaha mencegah tindakan penindasan ini,” katanya.
Ia menunjukkan banyak “kekuatan besar dunia bukan penanda tangan ‘pengadilan’ ini” —mungkin yang paling menonjol adalah AS, yang memimpin invasi tahun 2001— dan menambahkan bahwa “tidak beralasan bagi negara seperti Afghanistan yang secara historis telah mengalami pendudukan asing dan penaklukan kolonial untuk terikat oleh yurisdiksinya.”
Imarah Islam Afghanistan berhasil merebut kekuasaan pada Agustus 2021 setelah pengusiran pasukan asing dari negara yang dilanda perang itu, dan kehancuran pemerintahan yang didukung Barat berikutnya. Ashraf Ghani, presiden terakhir Afghanistan, melarikan diri dari negara itu saat Imarah Islam pindah ke istana presiden di ibu kota Kabul. (haninmazaya/arrahmah.id)