Oleh: Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
(Arrahmah.com) – Sebagaimana yang diberitakan di beberapa media online, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) memang berbahaya. Namun, Gatot menganggap kehadiran neoliberalisme dan neo-kapitalisme jauh lebih berbahaya. Sebagaimana berita beredar, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menghadiri simposium mewaspadai PKI. Panglima TNI hadir serta memberi sambutan dalam simposium tersebut. Simposium yang merupakan reaksi dari Simposium Tragedi 1965 itu resmi dibuka di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (1/6/2016), oleh ketua panitia, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.
Gatot memberi contoh di negara-negara yang terimbas dari paham neo kapitalisme dan neo liberalisme. Komunisme lanjut, Gatot, sudah dilarang sesuai Tap MPRS No 25 tahun 1966. Jadi dengan keputusan MPRS ini sudah kuat kalau komunisme dilarang. “Jadi sudah final. Saya juga mengingatkan kebangkitan PKI bukan dilihat hanya di permukaan, tapi di bawah permukaan,” tegas dia. Dalam sambutan pembukanya, Kiki mengatakan, simposium ini memiliki tujuan akhir berupa rekomendasi yang akan diberikan kepada pemerintah untuk menyikapi polemik kebangkitan PKI.
Panglima TNI menegaskan, kabar yang menyebut pemerintah akan meminta maaf hanya isu belaka. “Jadi begini saya ingatkan, jangan katakan pemerintah akan minta maaf. Itu isu. Itu pengkhianat pada pemerintah. Tidak akan pemerintah minta maaf. Tidak pernah Presiden Jokowi bilang akan minta maaf. Final itu,” ujar Gatot.
Benar, ancaman komunis hari ini nyata di hadapan bangsa Indonesia. salah satu indikasi bangkitnya PKI menurut Habib Rizieq adalah adanya tuntutan pencabutan aturan yang melarang ideologi Komunisme yakni TAP MPRS No. XXV Tahun 1966. Indikasi berikutnya adalah pemakaian lambang PKI di kalangan selebritis dan kawula muda, usulan penghapusan kolom agama dari KTP, hingga jargon Jokowi tentang Revolusi Mental, yang dahulu dipakai Komunis dan yang pertama kali memperkenalkan adalah Karl Marx, bapak Komunisme. Selanjutnya yang menandai bangkitnya Komunis di Indonesia adalah banyaknya “bantuan” China sebagai negara Komunis kepada Indonesia berikut kompensasinya.
Sangat nyata juga, Kapitalisme adalah sistem yang menjajah. Kapitalisme melahirkan ketidakadilan (inequality) atau kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Kapitalisme dunia hanya dapat mempertahankan hidupnya lewat eksploitasi yang dilakukan atas Dunia Ketiga. Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, dijadikan sebagai daerah pinggiran (periphery) yang sangat bergantung pada, dan dieksploitasi oleh, kekuatan-kekuatan kapitalis negara-negara besar.
Kapitalisme yang secara teoritis memberikan kesempatan sama (equality of opportunity) kepada setiap anggota masyarakat, dalam kenyataannya bersifat diskirminatif, bahkan rasis. Hanya mereka yang dekat kepada pusat kekuasaan saja yang lebih banyak mendapatkan akses informasi, modal, dan kesempatan. Diskriminasi juga berlanjut di bidang hukum. Dengan kekuatan dana yang dimiliki, para pemilik modal mampu membeli hukum. Akhirnya proses hukum tidak berjalan sebagai mana mestinya atas mereka. Lepasnya para konglomerat hitam pengemplang dana ratusan triliun rupiah dana BLBI adalah bukti yang sangat nyata.
Demi kepentingan ekonominya, kekuatan-kekuatan kapitalis selalu bersikap double-standard. Mereka bicara soal kebebasan, persamaan dan HAM, di saat yang sama mereka mensupport penguasa komparador yang anti Islam. Mereka berteriak tentang supremasi hukum dan perdamaian, namun faktanya mereka menjajah, menjarah dan membunuh di mana-mana. Di Irak, Afghanistan dan Suriah saja lebih dari 3 juta jiwa dihabisi.
Semboyan Kapitalisme yang berupa “berproduksi untuk dapat berproduksi lebih besar” (to produce, to produce and to produce) menyebabkan keserakahan dan berkembangnya kehidupan yang materialistik. Akibat mementingkan produksi atas segala-galanya itu, kapitalisme pada umumnya merusak ekologi yang seharusnya dilestarikan. Polusi udara, sungai dan lautan, banjir dan longsor, sesungguhnya berasal dari keserakahan kapitalisme yang bernafsu menjalankan produksi tanpa batas.
Ini menunjukkan, bahwa Kapitalisme yang dipraktekan di negeri ini, tentu di bawah pimpinan AS dan negara-negara Kafir penjajah lainnya, telah kehilangan otoritas moralnya untuk memimpin dunia. Realitas itu pun menggambarkan bahwa peradaban Kapitalisme terus menuju kemunduran yang permanen.
Hari ini, tengah bangkit sentimen umat anti penjajah dan Ideologi penjajah, Kapitalisme dan Komunisme. Juga bangkit kesadaran umat Islam untuk kembali kepada agamanya. Ini bisa dilihat dari tingginya survei-survei yang dilakukan di negeri kaum Muslim, yang menggambarkan tingginya keinginan mereka untuk menerapkan syariah. Bahkan, mereka juga mendambakan kesatuan dunia Islam dalam satu negara Khilafah. Bukan hanya itu, maraknya syiar dan kegiatan keislaman yang dilakukan oleh seluruh kelompok umat Islam, bukan saja kalangan santri, tetapi juga berbagai kalangan lainnya.
Lihat, dialektika sosialisme-komunisme telah runtuh, umat memahami kengerian dan bahaya jika ideologi ini dipraktekan. Sementara Kapitalisme, yang hari ini membawa konsekuensi ekonomi pasar bebas, privatisasi dan penjajahan hasilnya adalah goncangan secara beruntun dan kehancuran dengan cepat.
Saat yang sama Islam, syariah dan Khilafah sebagai solusi hakiki atas krisis multidimensi di negeri ini telah menjadi sasaran tembak kebohongan dan penyesatan pemerintah Barat, dalam rangka menghalangi kaum Muslim memerdekakan diri dari penerapan ideology kapitalisme yang zalim di negeri kita. Maka berjuang dan menolak konspirasi negara-negara penjajah terhadap agama, darah, kemuliaan dan harta kita adalah pilihan tepat.
(*/arrahmah.com)