RAKHINE (Arrahmah.com) – Mengutip laporan World Bulletin pada Sabtu (1/11/2014), PBB akhirnya akan mengatur rancangan resolusi baru guna mendesak pemerintah Myanmar untuk meninggalkan aturan yang memaksa Muslim Rohingya untuk diidentifikasi sebagai “Bengali”, istilah yang digunakan untuk melabeli warga minoritas sebagai imigran ilegal asal Bangladesh.
Resolusi – yang diperoleh Jum’at (31/10) oleh kantor berita Associated Press – juga mendesak Myanmar (dahulu disebut Burma) untuk memberikan sebagian besar Muslim Rohingya yang tak berkewarganegaraan agar diberi “akses kewarganegaraan penuh.”
Namun kelompok hak asasi Burma Campaign UK mengatakan kepada Anadolu Agency (AA) pada Sabtu (1/11) bahwa resolusi itu “akan diabaikan” oleh pemerintah [tirani]. “Hampir setiap resolusi Majelis Umum di Burma dalam dekade terakhir telah menyerukan aksi [penyelamatan] Rohingya, Namun, pemerintah Burma tidak hanya mengabaikan seruan ini, tetapi [malah] meningkatkan represi,” ujar Mark Farmer, direktur kelompok hak asasi, kepada AA.
“Pemerintah Burma tahu betul bahwa Uni Eropa, yang menyusun resolusi ini, hanya akan berbentuk mosi tanpa sanksi]. Sehingga mereka dapat terus menentang resolusi ini tanpa menghadapi konsekuensi apapun.”
PBB sebelumnya menggambarkan Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi pembatasan kebebasan bergerak dan hidup dalam ketakutan akan penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan di negara yang mayoritas beragama Budha.
Sekitar 140.000 Muslim Rohingya dikekang oleh penjaga bersenjata dan pos pemeriksaan di kamp-kamp kumuh di pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine barat laut. Itu terjadi setelah pemerintah dan elemen Budha ekstrim menggencarkan serangan brutal masal ke desa-desa mereka pada tahun 2012, memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Sejak itu lebih dari 100.000 orang melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal reyot penuh sesak.
Namun mereka yang mengungsi, tak juga selalu disambut baik oleh negara-negara tetangganya. Salah satu contohnya, seorang yang semestinya dimuliakan karena kehafidzannya malah mendekam di penjara sebab tergolong pendatang ilegal (lihat video di atas). Subhanallah.
Sebelumnya, pemerintah tirani menyatakan ingin menjadikan sekitar satu juta Muslim Rohingya sebagai bagian dari “rencana tindakan” Myanmar, guna menarik kembali warga yang telah mengungsi. Tiran Myanmar juga mengatakan mengiming-imingi mereka yang terdaftar sebagai “Bengali” akan memiliki kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan. Namun, Muslimin Rohingya menolak karena akan menghadapi kemungkinan penahanan dan deportasi. Itu lebih buruk dari dipenjara di pengungsian, sebab nyawa mereka semakin tidak terjamin. Astaghfirullah.
Resolusi PBB, yang disusun oleh Uni Eropa, mendesak pemerintah Myanmar untuk “memungkinkan identifikasi diri” warga Muslim Rohingya dan untuk diberi “kebebasan bergerak dan akses yang sama terhadap kewarganegaraan penuh.” Setelah kunjungan ke Rakhine, pelapor PBB khusus pada hak asasi manusia, Yanghee Lee, menyatakan pada 26 Juli saat konferensi pers di Bandara Internasional Yangon bahwa pemerintah tirani “berulang kali memberitahu [PBB] untuk tidak menggunakan istilah ‘Rohingya’, seperti ini tidak diakui oleh pemerintah. “
Bereaksi terhadap hal itu, PBB menjawab bahwa “hak-hak minoritas untuk mengidentifikasi diri … terkait dengan kewajiban Negara untuk memastikan [perlakuan] non-diskriminasi terhadap individu dan kelompok.”
Resolusi ini sekarang berhadapan dengan Majelis Umum. Meskipun tidak mengikat, diharapkan akan menambah tekanan pada pemerintah Myanmar. Banyak yang mengandalkan kekuatan resulusi itu dengan kehadiran Obama dua pekan ke depan. Namun demikian, Muslimin Rohingya tidak dapat mengandalkan apa yang akan terjadi setelah kunjungan Presiden Amerika Serikat itu dalam pertemuan puncak regional.
Myanmar mulai diintimidasi pemerintahan militer yang keras pada tahun 2011, ketika sebuah pemerintah sipil terdiri dari mantan jenderal mendapatkan kekuasaan dan melancarkan serangkaian reformasi demokrasi. Tapi bumi Rohingya secara ironis menyaksikan kondisi rakyatnya kian parah di bawah pemerintahan Presiden Thein Sein, seiring diberlakukannya era kebebasan baru yang mendorong ekstrimis Budha semakin berani mendzolimi kaum Muslimin disana.
Akankah kita biarkan saudara-saudara kita di Rohingya terbunuh secara masif di tangan kaum kuffar? Dapatkah Indonesia menjadi negara tetangga yang ramah bagi para pengungsi Rohingya? Ikhwah fiillah, lebih dari sekedar ingin diakui identitasnya, mereka sejatinya menanti uluran tangan kita semua. Hasbunallah wa ni’mal waqiil. (adibahasan/arrahmah.com)