JAKARTA (Arrahmah.id) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti lambannya penanganan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana CSR di Bank Indonesia oleh KPK.
ICW mencermati sejak kasus ini diselidik KPK pada Agustus 2024 dan terbitnya surat perintah penyidikan (sprindik) pada Desember 2024, hingga kini belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan oleh komisi antirasuah.
Peneliti ICW, Yassar Aulia, menilai bahwa seharusnya dengan ditingkatkannya status kasus ke tahap penyidikan, KPK telah mengantongi minimal dua alat bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang KPK.
Konstruksi perkara serta unsur tindak pidana dalam kasus seharusnya sudah jelas.
Sayangnya, hingga kini, KPK belum mengumumkan siapa pihak yang harus bertanggung jawab dalam dugaan penyimpangan dana CSR tersebut.
“Sudah banyak pihak yang diperiksa dalam kasus ini, termasuk adanya penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik. Seharusnya, dengan langkah-langkah hukum tersebut, KPK telah mendapatkan cukup banyak petunjuk untuk mengungkap siapa yang terlibat,” ujar Yassar Aulia kepada wartawan Inilah.com Ucha Julistian Mone di Jakarta pada Rabu (5/2/2025).
Menurut Yassar, skandal korupsi dana CSR BI penting untuk dibongkar. Terlebih, sempat muncul pengakuan dari anggota Komisi XI DPR periode 2019–2024 yang menyebutkan bahwa dana CSR BI diduga mengalir ke seluruh anggota Komisi XI DPR RI.
“Jika benar ada aliran dana kepada anggota legislatif, maka ini menjadi persoalan serius yang harus segera dibuka ke publik. KPK perlu segera mengungkap siapa saja yang terlibat agar tidak semakin kuat anggapan bahwa lembaga ini telah kehilangan independensinya dalam menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat politik,” tegas Yassar.
Selain itu, ia menilai KPK perlu menelusuri identitas-identitas individu yang menjadi pemilik manfaat akhir atau beneficial owner dari yayasan-yayasan yang mendapatkan dana CSR.
Menurutnya, langkah tersebut penting guna memastikan apakah ada kepentingan terselubung atau konflik kepentingan dalam penyaluran dana tersebut.
Menurutnya, KPK dapat merujuk pada skema yang telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
“Dengan demikian, akan lebih mudah mengidentifikasi apakah ada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dalam penyaluran dana CSR ini,” Yassar mengungkapkan.
Dia menegaskan, kasus ini juga menjadi alarm bagi pengelolaan dana CSR di berbagai institusi lainnya. Dana CSR, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial, rentan disalahgunakan karena lemahnya pengawasan.
“Semakin besar anggaran yang dialokasikan, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya. Oleh karena itu, pengawasan terhadap dana CSR harus lebih diperketat agar tidak diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ia menambahkan.
ICW juga menyoroti lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh DPR. Mirisnya, berdasarkan informasi yang dirilis KPK, ada dugaan kuat keterlibatan anggota DPR dalam penyelewengan dana CSR BI. Jika benar, hal ini menjadi tamparan keras bagi lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan keuangan negara.
“Dugaan keterlibatan anggota DPR dalam kasus ini semakin mencederai amanah rakyat. Harus ada langkah serius untuk mengaudit program sosial BI dan memastikan transparansi serta akuntabilitasnya,” ujar Yassar.
ICW mendesak agar KPK segera menuntaskan kasus ini dengan mengumumkan tersangka dan mengusut tuntas aliran dana CSR BI. Menurutnya, kejelasan penyelesaian kasus sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
“KPK harus menunjukkan bahwa mereka masih memiliki keberanian untuk mengusut kasus-kasus besar tanpa pandang bulu. Jangan sampai lambannya penanganan kasus ini justru memperkuat anggapan bahwa KPK telah kehilangan taringnya,” pungkas Yassar.
(ameera/arrahmah.id)