JAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia Corruption Watch baru-baru ini melaporkan dugaan maladministrasi dalam program Kartu Prakerja ke kantor Ombudsman di Jakarta.
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan setidaknya ada enam dugaan maladministrasi dalam proyek Kartu Prakerja.
Pelanggaran pertama terkait dengan pemilihan platform digital yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.
Menurut Wana, perjanjian kerja sama antara manajemen pelaksana dengan platform digital dilakukan pada 20 Maret 2020. Padahal Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur teknis perjanjian kerja sama baru terbit pada 27 Maret 2020.
Perjanjian kerja sama itu, lanjutnya, patut diduga sebagai bentuk maladministrasi karena dasar hukum teknis yang mengatur perjanjian kerja sama belum ada.
Kemudian, pelanggaran kedua terkait dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa.
“Sejak awal ICW selalu mengkritik bahwa proses pemilihan platform digital ini seharusnya menggunakan mekanisme pengadaan barang dan jasa (melalui lelang). Namun ternyata pemerintah tidak juga menggunakan mekanisme tersebut (tapi melakukan penunjukan langsung),” jelas Wana, lansir VOA Indonesia, Sabtu (4/7/2020).
Sehingga, lanjutnya, ini juga menjadi potensi dugaan maladministrasi yang terjadi di dalam proses pemilihan platform digital.
Pemerintah juga diduga melakukan maladministrasi karena proses kurasi platform digital yang tidak layak.
Sesuai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, jangka waktu yang dibutuhkan manajemen pelaksana dan platform digital untuk melakukan kurasi paling lama 21 hari sampai bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan.
“Namun faktanya, proses pendaftaran sampai penutupan hanya berjarak lima hari,” kata Wana.
Selain itu, dugaan maladministrasi terjadi dalam penempatan program Kartu Prakerja yang tidak sesuai dengan kewenangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menurut Wana, pengelolaan Kartu Prakerja mestinya menjadi kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Dengan menempatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja, timbul konflik kepentingan karena fungsi pengawasan dan pelaksanaannya menyatu di satu kementerian,” jelasnya.
Dugaan pelanggaran selanjutnya, ungkap Wana, adalah pemilihan platform digital yang tidak sesuai prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah.
“Pemerintah tidak memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kesempatan untuk menjadi mitra program Kartu Prakerja,” terangnya.
Merujuk Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, prinsip pengadaan seharusnya efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
Wana menilai, terdapat potensi konflik kepentingan platform digital. Dari 850 pelatihan yang diidentifikasi, 137 di antaranya merupakan milik lembaga pelatihan yang juga merangkap sebagai platform digital.
Dugaan ini, lanjut Wana, juga masuk dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait potensi konflik kepentingan platform digital yang sekaligus menjadi lembaga pelatihan.
Untuk itu, ICW meminta Ombudsman memeriksa dugaan maladministrasi pada program Kartu Prakerja dan mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan program tersebut.
Menanggapi laporan dari ICW tersebut, Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan laporan itu masih di bagian pengaduan masyarakat untuk diperiksa kelengkapan datanya. Kalau sudah lengkap, maka akan dibawa ke rapat pleno untuk dibahas.
Setelah itu, laporan ICW itu akan dikirim ke bagian tim investigasi yang akan turun ke lapangan untuk mengecek kebenaran dugaan maladministrasi dalam program Kartu Prakerja yang dilaporkan oleh ICW.
(ameera/arrahmah.com)