DHAKA (Arrahmah.com) – Kondisi di negara bagian utara Rakhine di Myanmar belum siap untuk menerima pemulangan ratusan ribu warga Rohingya yang telah melarikan diri dari tindakan keras militer, presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengatakan, kemarin (1/7/2018) setelah melakukan kunjungan ke wilayah itu.
Myanmar mengatakan pihaknya siap untuk mengambil kembali lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya yang telah meninggalkan Bangladesh sejak Agustus lalu, dan telah mendirikan dua pusat penerimaan dan apa yang dikatakannya sebuah kamp sementara di dekat perbatasan di Rakhine untuk menerima kedatangan pertama.
Namun Presiden ICRC Peter Maurer mengatakan dia tidak percaya pengembalian harus segera dimulai berdasarkan apa yang dilihatnya selama kunjungannya.
“Saya pikir masih ada banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan sampai repatriasi skala besar adalah hal yang realistis,” kata Maurer.
“Banyak yang harus dimatangkan dalam hal struktur penerimaan, persiapan, juga persiapan masyarakat untuk menerima kembali mereka (para pengungsi),” lanjutnya.
Pernyataan Maurer, yang dibuat di kamp-kamp pengungsi di pantai tenggara Bangladesh, mengikuti kunjungannya ke Myanmar, di mana dia menyaksikan desa-desa yang ditinggalkan dan rumah-rumah yang hancur.
Juru bicara pemerintah Myanmar tidak segera bersedia untuk mengomentari pernyataan Maurer.
Eksodus Rohingya datang setelah serangan militan terhadap pos keamanan Myanmar memicu serangan militer yang oleh PBB disebut “contoh tekstual pembersihan etnis”.
Myanmar membantah tuduhan tersebut dan menyatakan telah melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah.
Palang Merah telah menjadi penyedia utama bantuan kemanusiaan ke negara bagian Rakhine utara Myanmar sejak PBB harus menangguhkan operasinya di sana September lalu, menyusul tuduhan pemerintah bahwa lembaganya telah mendukung gerilyawan Rohingya.
Rohingya yang telah melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas beragama Buddha telah melaporkan pembunuhan massal, pembakaran dan pemerkosaan oleh pasukan keamanan di sana. Negara ini tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis pribumi dan menyangkal kewarganegaraan mereka.
PBB mencapai kesepakatan garis besar dengan Myanmar pada akhir Mei yang bertujuan untuk memungkinkan ratusan ribu Muslim Rohingya yang berlindung di Bangladesh untuk kembali dengan selamat dan karena pilihan mereka sendiri.
Namun Rohingya tidak akan memiliki jaminan kewarganegaraan atau kebebasan bergerak di Myanmar, menurut rincian perjanjian yang dilaporkan Reuters pada Jumat pekan lalu.
Banyak warga Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh mengatakan mereka tidak akan kembali sampai Myanmar mengakui mereka sebagai warga dan keamanan mereka terjamin.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay dan Menteri Kesejahteraan Sosial Win Myat Aye tidak menjawab beberapa panggilan telepon yang meminta komentar tentang perjanjian tersebut. Direktur Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi, dan Populasi mengatakan dia tidak berwenang untuk memberi komentar dan mengarahkan pertanyaan kepada sekretarisnya, yang tidak menjawab telepon.
Maurer bertemu dengan pejabat senior pemerintah di ibukota Naypyitaw di Myanmar untuk mencari persetujuan dalam rangka meningkatkan operasi Palang Merah di negara bagian Rakhine.
Dia mengatakan dia puas dengan kerja sama dari pasukan keamanan serta pemerintah untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan pada saat ini.
Kantor pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan pertemuan itu ditujukan untuk membicarakan tentang “bantuan kemanusiaan dan membantu masyarakat yang terkena dampak untuk menciptakan sumber pendapatan independen”. (Althaf/arrahmah.com)