DEN HAAG (Arrahmah.id) – Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengecam keras keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabatnya. Sementara Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu menyambut baik tindakan tersebut, Dewan Eropa memperingatkan bahwa tindakan tersebut merusak keadilan global.
Pada Kamis (6/2/2025), Trump menandatangani perintah eksekutif yang memberlakukan sanksi finansial dan pembatasan visa bagi staf ICC dan keluarga mereka. Ia mengumumkan keadaan darurat nasional, menyebut tindakan pengadilan tersebut sebagai “ancaman” karena surat perintah penangkapannya terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan ‘Israel’ Yoav Gallant, yang telah memimpin genosida di Gaza.
Trump menuduh ICC terlibat dalam “tindakan tidak sah dan tidak berdasar” terhadap AS dan sekutunya, khususnya ‘Israel’. Ia mengklaim pengadilan telah secara keliru menyatakan yurisdiksi atas warga negara Amerika dan sekutunya tanpa pembenaran.
Netanyahu Menyatakan Kepuasannya
Sebagai tanggapan, ICC berjanji untuk melindungi stafnya dan mendesak negara-negara anggota, masyarakat sipil, dan komunitas global untuk bersatu demi keadilan dan hak asasi manusia.
Netanyahu memuji keputusan Trump, menyebutnya sebagai “perintah eksekutif yang berani.” Ia mengklaim ICC adalah “pengadilan yang korup, anti-Amerika, dan anti-Semit” dan mengatakan sanksi tersebut akan melindungi kedaulatan AS dan ‘Israel’. Ia berpendapat bahwa ICC “tidak memiliki yurisdiksi” dan menggunakan ‘Israel’ sebagai kasus uji sebelum menargetkan AS.
Para pemimpin Eropa mengkritik keras sanksi tersebut. Presiden Dewan Eropa António Costa memperingatkan bahwa penargetan ICC mengancam independensi dan keadilan globalnya. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen membela pengadilan tersebut, dengan menyatakan bahwa pengadilan tersebut menjamin akuntabilitas dan memberi kesempatan kepada para korban untuk bersuara. Ia menegaskan kembali komitmen Eropa terhadap hukum internasional.
Juru bicara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan Inggris mendukung independensi ICC dan tidak berencana untuk menjatuhkan sanksi serupa. Menteri Luar Negeri Belanda Kaspar Veldkamp, yang negaranya menjadi tuan rumah ICC di Den Haag, menyatakan “penyesalan” atas langkah Trump, dan menyebut pekerjaan pengadilan itu penting untuk memerangi impunitas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Trump untuk mencabut sanksi tersebut. Juru bicara Hak Asasi Manusia PBB Ravina Shamdasani mengatakan PBB sangat menyesalkan tindakan tersebut dan menyerukan pencabutannya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengkritik keputusan tersebut, dengan mengatakan sanksi merupakan “alat yang salah” dan dapat melemahkan kemampuan ICC untuk meminta pertanggungjawaban para diktator. Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman mengonfirmasi bahwa Berlin akan terus mendukung pengadilan tersebut.
Human Rights Watch mengecam sanksi tersebut, dengan menyatakan bahwa sanksi tersebut memihak AS kepada penjahat perang, bukan kepada korban.
79 Negara Menentang Langkah Trump
Pernyataan bersama dari 79 negara—termasuk Kanada, Jerman, dan Prancis—menolak sanksi Trump, dengan peringatan bahwa sanksi tersebut “mengikis aturan hukum internasional.” Mereka berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat meningkatkan impunitas atas kejahatan serius dan membahayakan korban, saksi, dan pejabat pengadilan.
Sanksi tersebut menargetkan individu yang membantu investigasi ICC terhadap warga negara Amerika dan ‘Israel’. Mereka membekukan aset di AS dan melarang individu yang terkena dampak beserta keluarga mereka memasuki negara tersebut.
Untuk mengatasi pembatasan tersebut, ICC mengambil langkah pencegahan, termasuk membayar di muka gaji staf selama tiga bulan dan mempersiapkan diri menghadapi kendala keuangan.
Ini bukan pertama kalinya AS mengambil tindakan terhadap ICC. Pada 2020, selama masa jabatan pertama Trump, pemerintahannya memberikan sanksi kepada mantan jaksa ICC Fatou Bensouda dan seorang pembantu utamanya atas penyelidikan terhadap kejahatan perang AS di Afghanistan. (zarahamala/arrahmah.id)