Oleh Dian Puspita Sari
Aktivis Muslimah Ngawi
Akhir-akhir ini marak kasus pembuatan video vulgar yang dilakukan ibu-ibu muda bersama anak kandungnya. Ada dua ibu muda yang ditetapkan polisi sebagai tersangka, yakni AK (26) dan R (22). Kepada polisi, mereka mengaku nekat melakukan hal itu karena terpedaya iming-iming uang 15 juta dari teman Facebook atas nama Icha Shakila. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial (liputan6.com, 9/6/2024).
Sungguh miris membaca berita ini. Ibu yang telah mengandung, melahirkan anak dan sejatinya menjadi tumpuan kasih sayang, harapan dan masa depan anak dunia-akhirat, telah menghancurkan masa depan buah hatinya sendiri.
Ya, masa depan anaknya sendiri telah dia hancurkan. Uang sudah membutakan naluri kemanusiaan dan keibuannya. Balasan apa yang kelak dia dapatkan di masa tuanya dari anak yg dia lecehkan, lebih-lebih dari Allah sang Maha Pencipta di akhirat? Semurah itu dia hargai buah hatinya.
Kejahatan ini membuktikan beberapa hal yang belum terwujud sesuai harapan kita. Dua di antaranya:
– Pendidikan di negeri ini gagal melahirkan sumber daya manusia yang berkepribadian luhur (baca: berkarakter Islam). Tak dipungkiri, selama ini tujuan pendidikan di negeri ini “money oriented” (berorientasi materi/uang). Wajar saja hal ini terjadi karena kurikulum pendidikan yang selama ini diajarkan di institusi pendidikan negeri kita berbasis sekularisme. Agama dijauhkan dari anak-anak negeri. Orientasi duniawi yang didekatkan kepada mereka. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah atau perguruan tinggi, mereka hanya disiapkan sebagai tenaga kerja yang mementingkan uang, bukan sebagai pribadi yang siap mengemban amanah sebagai istri dan ibu. Sehingga ketika anak tersebut memasuki usia pernikahan dan berumah tangga, dia tidak memiliki cukup pendidikan berkaitan dengan keluarga termasuk ‘parenting’ yang baik (secara umum). Yang baik saja belum dia miliki, lebih-lebih pendidikan keluarga menurut pandangan Islam.
– Kondisi rakyat negeri ini masih jauh dari kata sejahtera. Ketika mereka tidak sejahtera disebabkan banyak faktor (seperti korupsi, pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak merata, tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan lain-lain), maksiat menjadi jalan pintas yang mudah mereka lakukan. Meskipun dengan menghancurkan masa depan orang-orang terdekat mereka. Jika pelakunya si ibu, dia akan kehilangan fitrah keibuannya.
Semua ini takkan terjadi jika kita mengembalikan pengaturan hidup kita kepada Sang Khalik dan Pengatur, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala (baca: syariat Islam). Syariat Islam memposisikan manusia secara adil sesuai fitrahnya.
Fitrah perempuan dalam Islam berperan sebagai muslimah, istri dan ibu, pendidik pertama dan utama untuk generasi serta pengatur rumah tangga. Di sinilah posisi perempuan dioptimalkan. Tujuan terpentingnya adalah untuk melahirkan generasi penerus yang berkarakter Islam dan berbudi luhur.
Sementara fitrah laki-laki berperan sebagai Al-Qawwam (kepala rumah tangga). Ia wajib memberi nafkah untuk keluarganya dengan bekerja.
Allah berfirman: “Laki-laki (suami) itu pelindung (Al-Qawwam) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya..” (QS. An-Nisa: 34)
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).
Islam juga mewajibkan negara untuk memaksimalkan tanggung jawabnya sebagai berikut:
– Memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, baik primer (sandang, pangan dan papan), sekunder dan tersier nya.
– Memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan pendidikan, kesehatan, keamanan dan keadilan hukum.
– Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk kaum laki-laki, khususnya suami dan bapak agar mereka dapat menafkahi keluarganya. Optimalisasi lapangan kerja yang terbuka luas untuk laki-laki akan meminimalisir celah perempuan untuk berkerja, meskipun hukum perempuan bekerja itu mubah. Lebih-lebih akan menutup pintu untuk mereka dari menghalalkan segala cara hanya demi uang.
Syariat Islam ini mustahil diterapkan tanpa peran negara. Jika syariat Islam ini diterapkan oleh negara, semua persoalan kehidupan akan teratasi. Kasih sayang di antara manusia termasuk anggota keluarga akan terwujud. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Pintu untuk berbuat maksiat dengan menghalalkan segala cara hanya demi uang pun niscaya akan terkunci mati dengan penerapan syariat dan sanksi jika terjadi pelanggaran.
Wallahua’lam bis shawwab