MAKHACHKALA (Arrahmah.id) – Aksi protes ibu-ibu di Dagestan memanas setelah perintah mobilisasi perang oleh Vladimir Putin dicanangkan di berbagai wilayah bagian Rusia, khususnya Dagestan.
Dilansir CNN (26/9/2022), beberapa video viral memperlihatkan perlawanan ibu-ibu dan kaum wanita Dagestan yang meminta agar sanak saudara mereka dan aparat setempat tidak ikut serta dalam wajib militer yang diperintahkan Rusia.
“Kenapa kamu mengambil anak-anak kita? Siapa yang menyerang siapa? Rusia lah yang menyerang Ukraina. Bukan Ukraina serang Rusia,” kata mereka dalam video tersebut.
Sekelompok wanita kemudian mulai meneriakkan “Tidak ada perang,” saat petugas polisi berjalan pergi.
Dalam aksi protes lain, polisi terlihat mendorong para ibu-ibu yang sedang menasehati anak mereka dan pemuda-pemuda agar tidak ikut serta dalam jihad atas nama Rusia.
Kelompok pemantau independen Rusia OVD-Info melaporkan bahwa beberapa penangkapan dilakukan, termasuk seorang jurnalis lokal yang melaporkan protes hari itu.
Wali kota Makhachkala Salman Dadayev menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Dia mendesak warga agar tidak mundur karena provokasi ibu-ibu yang meminta para pemuda agar tidak ikut serta perang.
“Saya mendesak Anda untuk tidak melakukan tindakan ilegal, yang akan dinilai oleh lembaga penegak hukum sebagai pelanggaran hukum,” kata Dadayev, dikutip dari kantor berita negara Rusia RIA Novosti.
Dalam video lain, seorang petugas polisi terlihat menembakkan senapannya ke udara dalam upaya nyata untuk membubarkan kerumunan pengunjuk rasa.
Aksi protes datang setelah Putin menyatakan Rabu lalu bahwa 300.000 pasukan cadangan akan direkrut di bawah “mobilisasi parsial” dalam upaya untuk memperkuat invasi ke Ukraina.
Dekrit ini ternyata menebarkan ketakutan di antara orang Rusia dan banyak penolakan dari berbagai wilayah.
“Mobilisasi tampaknya berada dalam kekacauan yang jauh lebih besar – orang-orang diambil dari universitas,” kata Anton Barbashin, direktur editorial di Riddle Russia, sebuah jurnal online tentang urusan Rusia.
Di Krimea yang diduduki Rusia, perintah mobilisasi telah mendorong pria Tatar – anggota kelompok etnis asli – untuk melarikan diri, kata perwakilan presiden Ukraina untuk Krimea.
“Saat ini, ribuan warga Tatar Krimea, termasuk keluarga mereka, meninggalkan Krimea untuk pergi ke Uzbekistan atau Kazakhstan,” katanya.
Mantan Presiden Mongolia Elbergdorj Tsakhia juga mendesak Putin untuk mengakhiri perang pada hari Jumat, dengan mengatakan warga Mongol di Rusia dipaksa untuk berperang.
“Saya tahu, sejak awal perang berdarah ini, etnis minoritas yang tinggal di Rusia paling menderita. Mongol Buryat, Mongol Tuva, dan Mongol Kalmyk telah banyak menderita,” katanya. “Mereka telah digunakan tidak lebih dari umpan meriam.”
Protes anti-mobilisasi telah menyebar ke seluruh negeri, dengan lebih dari 2.350 orang ditangkap sejak pengumuman itu, menurut OVD-Info. (hanoum/arrahmah.id)