Oleh: Rubén Anderson
Seorang penulis asal Amerika dan Profesor di Universitas Fordham.
(Arrahmah.id) – Hussam Shabat, jurnalis muda yang bekerja di Al Jazeera, tewas pada 24 Maret ketika pesawat drone “Israel” menargetkan mobil yang sedang ia tumpangi dengan satu roket. Kejadian ini terjadi setelah Hussam selesai melakukan wawancara dan sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Indonesia di utara Gaza untuk melakukan siaran langsung di Al Jazeera Mubasher.
Seorang jurnalis lain yang menyaksikan kejahatan ini melaporkan bahwa Hussam baru saja menyelesaikan wawancara dan hendak melanjutkan siaran langsungnya. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan bahwa pembunuhan ini adalah kejahatan pembunuhan yang disengaja.
Hussam juga aktif menulis untuk situs berita Drop Site News asal Amerika Serikat. Laporan-laporan langsungnya tentang situasi di Gaza digunakan oleh jurnalis Jeffrey Saint Clair dalam seri “Diari Gaza” yang dipublikasikan.
Pesan Terakhir Hussam Sebelum Gugur
Sebelum ia meninggal, Hussam meninggalkan sebuah pesan yang ditujukan kepada para pembaca, yang seakan-akan meramalkan nasibnya. Pesan tersebut berbunyi:
“Jika kalian membaca kata-kata ini, berarti saya telah dibunuh—mungkin dengan sengaja oleh tentara pendudukan “Israel”. Saya telah mengabdikan 18 bulan terakhir hidup saya untuk melayani rakyat saya. Saya mendokumentasikan kekejaman di utara Gaza, menit demi menit, dengan tekad untuk mengungkap kebenaran yang mereka coba tutup-tutupi. Saya bersumpah dengan nama Allah, saya telah menjalankan tugas saya sebagai jurnalis. Saya mengorbankan segalanya untuk menyampaikan kebenaran, dan sekarang, saya beristirahat dengan damai…”
Pada hari yang sama dengan pembunuhan Hussam, pasukan “Israel” juga menargetkan wartawan lain, Muhammad Mansour, yang bekerja untuk Paltoday TV, beserta istri dan anaknya, dengan menyerang rumah mereka di Khan Yunis.
Setelah pembunuhan Hussam, tentara “Israel” merayakan kematiannya secara terbuka, bahkan memposting di akun Twitter resmi mereka yang menyatakan dengan bangga bahwa mereka telah “melenyapkan” Hussam, dengan mengatakan, “Jangan biarkan pelindung pers mengelabui kalian, Hussam adalah seorang teroris.” Sebelumnya, “Israel” menuduh Hussam dan lima jurnalis lainnya yang bekerja untuk Al Jazeera sebagai anggota Hamas, meskipun mereka sedang bertugas meliput kekejaman yang dilakukan oleh pasukan “Israel”.
Hussam dan Pengungkapan Kebenaran yang Terancam Tertutup
Hussam menyadari bahwa penuduhan oleh “Israel” kepadanya sebagai anggota Hamas adalah tanda bahwa ia menjadi target yang sudah direncanakan. Karena itu, ia mengajak para pengguna media sosial untuk ikut memperjuangkan perlindungan bagi jurnalis, dengan mengkampanyekan tagar #SaveJournalists dan menyerukan:
“Saya menyerukan kepada semua orang untuk menyebarkan kebenaran tentang apa yang dialami oleh jurnalis, untuk mengungkap rencana “Israel” dalam menutupi media. Sebarkan tagar ini dan berbicaralah untuk kami!”
Pesan terakhir Hussam, yang dikirim beberapa jam sebelum ia meninggal, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris oleh Sharif Abd Al-Kudus, dan dimulai dengan kata-kata berikut:
“Malam ini sangat gelap, diliputi keheningan yang mencurigakan. Semua orang tertidur dengan cemas. Namun ketenangan itu segera pecah dengan teriakan yang menakutkan. Saat bom-bom mengguyur langit, teriakan-teriakan tetangga menandai dimulainya kembali serangan “Israel”. Kota Beit Hanoun tenggelam dalam ketakutan dan teror.”
Ini adalah gambaran mengerikan tentang realitas yang dihadapi oleh masyarakat Gaza, yang menjadi alasan mengapa “Israel” berusaha untuk menutup suara Hussam Shabat.
Korban Jurnalis Palestina dan Serangan “Israel” yang Terus Berlanjut
Jumlah jurnalis Palestina yang telah tewas sejak Oktober 2023 kini mencapai 236 orang, dengan masuknya Hussam Shabat ke dalam daftar tersebut. Pada 7 April, “Israel” juga mengebom tenda media di Khan Yunis, menambah jumlah korban tewas.
Sejak penghentian gencatan senjata oleh Netanyahu, “Israel” melancarkan gelombang pembunuhan besar-besaran yang mengakibatkan 700 orang gugur dalam tiga hari pertama, serta 900 lainnya terluka. Pembantaian ini terus berlanjut.
Para propagandis perang tahu bahwa rencana mereka akan runtuh jika kebenaran yang dilaporkan oleh jurnalis independen dan suara oposisi terus terungkap. Oleh karena itu, propaganda perang selalu membutuhkan penutupan informasi dan keheningan.
Rafa’a Radwan: Seorang Penyintas yang Juga Menjadi Korban Kejahatan Perang “Israel”
Hussam Shabat bukanlah satu-satunya orang Palestina yang meninggalkan rekaman tentang pembunuhan dan pihak yang bertanggung jawab. Rafa’a Radwan adalah salah satu dari lima belas pekerja medis yang dieksekusi oleh “Israel”, sehari sebelum pembunuhan Hussam. Ia meninggalkan sebuah rekaman video yang menggugurkan cerita-cerita palsu “Israel”.
Pada 23 Maret, pasukan “Israel” menembak mati para pekerja kemanusiaan di Rafah, yang terdiri dari delapan anggota tim Palang Merah Palestina, enam petugas pertahanan sipil Palestina, dan seorang pegawai dari UNRWA, saat mereka melakukan misi penyelamatan korban sipil.
Setelah mereka berangkat untuk misi penyelamatan, komunikasi dengan mereka terputus selama beberapa hari. Juru bicara pertahanan sipil, Mahmoud Basal, mengeluarkan seruan putus asa kepada dunia agar menekan “Israel” untuk mengungkapkan nasib mereka. Hingga 30 Maret, jenazah mereka ditemukan dalam kuburan massal dangkal, masih mengenakan pakaian medis yang terang.
Pemeriksaan forensik oleh seorang dokter yang bekerja dengan rumah sakit di Khan Yunis mengungkapkan tanda-tanda “eksekusi lapangan” berdasarkan lokasi luka yang disengaja. Korban ditemukan masih memegang perangkat komunikasi, sarung tangan, dan tas medis mereka.
Menurut laporan The Guardian, dokter tersebut menyatakan bahwa “Israel” telah menghancurkan sistem kesehatan di Gaza dan membunuh seribu lebih pekerja medis, yang bisa dianggap sebagai kejahatan perang.
Penutupan
Hussam Shabat dan Rafa’a Radwan meninggalkan pesan yang sangat mendalam dan penting. Mereka mengingatkan dunia tentang pentingnya terus berbicara tentang Gaza, menyuarakan kebenaran, dan melawan penindasan yang terjadi. Kata-kata mereka menjadi saksi dari perjuangan yang tak kunjung berhenti.
Sebagai seorang jurnalis, Hussam Shabat menulis:
“Saya tidur di trotoar, di sekolah, di tenda—di mana saja saya bisa menemukan tempat. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Saya menahan rasa lapar berbulan-bulan, tetapi saya tidak pernah meninggalkan rakyat saya.”
Dan ia meninggalkan pesan yang tak terlupakan:
“Jangan berhenti berbicara tentang Gaza. Jangan biarkan dunia berpaling. Terus berjuang, terus ceritakan kisah kami—hingga Palestina merdeka.”
Ini adalah pesan bijak yang sangat penting bagi sebuah bangsa yang tengah menghadapi upaya pemusnahan massal. Pesan yang harus didengar oleh dunia.
*Artikel ini diterjemahkan dari Al Jazeera Arabic dengan judul asli “الشاب الذي اغتالته إسرائيل.. لكنه فضحهم إلى الأبد”, yang berarti “Pemuda yang Dibunuh oleh ‘Israel’… Namun Membongkar Mereka Selamanya” dalam bahasa Indonesia. Artikel ini ditulis oleh Rubén Anderson, seorang penulis asal Amerika yang juga merupakan profesor di Universitas Fordham.
(Samirmusa/arrahmah.id)