Depok (arrahmah.com) – Senin 11 Agustus 2008, Stephen Smith, Menteri Luar Negeri Australia, menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan (clemency) terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang tersangkut kasus Narkoba di Bali pada tahun 2005 yang terkenal dengan julukan The Bali Nine.
Uniknya dalam kesempatan yang sama Menlu Australia tersebut tidak membahas sama sekali perihal hukuman mati terhadap tiga terpidana mati bom Bali (Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas) yang kini tengah menanti eksekusi mati setelah pelbagai upaya hukum mentok. Alias, pemerintah Australia seperti rela Amrozi cs harus dieksekusi mati.
Dalam wawancaranya dengan Sydney Morning Herald (10/8-08) Smith mengatakan, ” ketika warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara kasuistik.” Lalu, ia juga akan menentukan apakah akan melakukan representasi secara sendirian atau bergabung dengan negara-negara lain di level regional ataupun multilateral. Menilik sikap tersebut, jelas bahwa pemerintah Australia, menunjukkan sikap diskriminatif dan standar ganda dalam memandang hukuman mati.
The Bali Nine dan Schapelle Corby
Masih ingat kasus the Bali Nine? sembilan orang penyelundup Narkoba (heroin) seberat 8.3. kg seharga Empat Juta Dollar Australia yang ditangkap di Denpasar, Bali pada 17 April 2005. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Empat orang ditangkap di bandara, satu di dalam pesawat, empat lagi di dalam sebuah bungalow di Bali. Mereka berusia amat muda, 18 hingga 28 tahun, masing-masing adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Scott Rush, Marthin Stephens, Matthew Norman, Michael Czugaj, Si Ye Chen, Tach Duc Thanh Nguyen, dan Renae Lawrence.
Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Bali dan Mahkamah Agung mengganjar hukuman sembilan orang ini secara bervariasi. Semula di tingkat pengadilan negeri dua orang (Andrew Chan dan Myuran Sukumaran) dijatuhi hukuman mati dan tujuh lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Belakangan di tingkat banding dan kasasi hukuman berubah menjadi satu orang lagi dijatuhi hukuman mati (Scott Rush), dua tetap dihukum seumur hidup, dan empat lagi dikurangi hukumannya menjadi dua puluh tahun penjara.
ImageDan untuk itulah Menlu Australia Stephen Smith datang ke Jakarta. Guna melobby pemerintah RI via Menlu Hasan Wirayudha untuk tidak mengeksekusi mati ketiga terpidana mati tersebut.
Hukuman mati untuk terpidana narkoba di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Telah diatur dalam UU tentang Psikotropika No. 5 tahun 1997 dan UU Narkotika No. 2 tahun 1997. Dan telah banyak pula warga negara lain maupun warga negara Indonesia yang dihukum mati, dieksekusi mati, ataupun tengah menanti eksekusi mati.
Intervensi pemerintah Australia ini bukan kali ini saja. Sebelumnya kita mengenal kasus Schapelle Leigh Corby. Corby adalah gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg mariyuana. Corby dinyatakan melanggar pasal 82 ayat (1) huruf (a) UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Jaksa menuntutnya hukuman seumur hidup dan dengan denda 100 juta atau subsider enam bulan kurungan (Koran TEMPO, 23 April 2005).
Persidangan Corby mendapat perhatian khusus pemerintah Australia, bahkan Canberra minta Jakarta tidak menghukum mati Corby. Beberapa hari sebelum sidang Corby, tampak lilitan pita warna hijau muda di pohon-pohon pinus sepanjang jalan di depan gedung Pengadilan Negeri Denpasar. Pita ini sebagai tanda dukungan moral kepada terdakwa. Kendati, berbagai pihak di Bali, antara lain Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Bali, meminta terdakwa agar dijatuhi hukuman mati (Koran TEMPO, 23 April 2005).
Di Australia, dukungan mengalir deras kepada Corby. Beberapa situs dibuat di internet untuk mendukung penolakan hukuman mati kepada Corby antara lain
www.dontshootschapelle.com, www.schapelle.com dan lain-lain. Mereka menyerukan penggunakan pita berwarna kuning (yellow ribbon) untuk diikatkan di kotak surat (letterbox), pagar, pohon, mobil, sepeda maupun handphone.
Tidak sekedar menolak hukuman mati, merekapun menolak buruknya kondisi penjara di Bali sekiranya Corby dihukum penjara. Mereka yakin bahwa Corby tidak bersalah (innocent) dan bahwa mariyuana yang ditemukan di tasnya adalah bukan miliknya melainkan diletakkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dari angket yang disebar kepada 133.627 jiwa, sebanyak 133.533 (99.94%) meyakini bahwa Corby Innocent, dan hanya 84 jiwa (0.06%) saja yang berpendapat bahwa Corby bersalah (www.dontshootschapelle.com).
Ketakutan terhadap eksekusi mati oleh dua belas anggota regu tembak (firing squad) terhadap Corby begitu menghantui publik Australia. Suster Susan Connelly, seorang biarawati Sydney, mengatakan bahwa hukuman mati melalui regu tembak adalah menjijikkan dan barbar dan sangat mengherankan bahwa masih terjadi pada saat ini. Apalagi warga Australia menjadi subyek hukuman tersebut (catchnews, 24 April 2005).
Entah karena tekanan dari Australia atau tidak, belakangan memang Pengadilan Negeri Denpasar tidak menjatuhkan hukuman mati ataupun seumur hidup kepada Corby. Ia hanya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Di tingkat Pengadilan Tinggi hukumannya bahkan dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Barulah di tingkat kasasi MA hukumannya kembali bertambah menjadi 20 tahun penjara. Adilkah? Sebagian pihak memandang sangat tidak adil. Karena ancaman hukuman pada pasal yang dijatuhkan kepada Corby adalah hukuman mati dan ia terbukti dalam sidang peradilan secara sengaja dan melawan hukum membawa 4.2 kilogram ganja. Alias, suatu kejahatan yang amat berat dan serius. Apakah ini karena Corby adalah warganegara Australia maka hukumannya relatif ringan?
Inkonsistensi Bom Bali dan Bali Nine
Satu adagium utama dalam ilmu hukum adalah setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum (equality before the law) dan keadilan (justice) adalah tujuan utama dari hukum. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa melihat suku, agama, ras, gender, status sosial dan ekonomi, kelompok politik dan afiliasi tertentu. Persis seperti ungkapan populer yang pernah disampaikan Rasulullah Muhammad SAW : ”Sekiranya Fathimah binti Muhammad SAW mencuri maka aku sendiri yang memotong tangannya”.
Negeri Australia telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di negerinya. Keikutsertaan mereka dalam berbagai konvensi HAM Internasional dan pandangan mereka bahwa hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan membuat mereka menolak hukuman mati. Suatu pandangan yang sah-sah saja dan harus dihargai. Namun, ketika Australia memandang secara berbeda hukuman mati terhadap Bali Nine dan terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali (Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera) yang turut menewaskan 88 warga negara Australia, tentunya ini adalah sikap yang tidak adil, ambivalen, dan diskriminatif
Hal ini terjadi juga dalam kasus Saddam Hussein. Hukuman mati telah dihapuskan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan juga di seluruh negara anggota Uni Eropa. Namun toh Amerika Serikat dan Uni Eropa bersikap pasif ketika Saddam dieksekusi mati awal tahun 2007 silam. Padahal. Penangkapan dan pengadilan Saddam berlangsung karena peran AS dan sekutunya.
Terlepas bahwa Saddam Hussein memang layak dijatuhi hukuman mati, sejatinya amat mudah bagi AS dan sekutu untuk mencegah hukuman mati terhadap Saddam. Sama mudahnya bagi mereka untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Apabila mereka menghendaki, sedari awal pengadilan terhadap Saddam dapat dengan mudah diintervensi.
Selama ini AS dan negara-negara Eropa Barat adalah promotor utama rezim hak asasi manusia internasional (international human rights law). Deklarasi HAM Universal 1948 dan ratusan konvensi hukum internasional lainnya dilahirkan dan dipromosikan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat.
Termasuk tentang penghapusan hukuman mati. Instrumen regional tentang HAM di Amerika maupun Eropa, seperti tersebut di atas, telah menghapuskan hukuman mati. Mereka mempromosikan penghapusan hukuman mati karena berpotensi melanggar hak hidup, hak manusia yang paling asasi. Namun, di sisi lain, mereka membiarkan pengadilan Iraq mengeksekusi mati Saddam Hussein.
Dalam kasus Bom Bali dan Bali Nine, semestinya pemerintah Australia harus bersikap adil. Mengapa mereka tidak berkeberatan terhadap vonis mati untuk Amrozi, Imam Samudra maupun Mukhlas dalam kasus Bom Bali namun amat berkeberatan dengan pidana mati terhadap tiga dari sembilan anggota Bali Nine? Apakah ini karena pandangan bahwa kasus narkoba adalah lebih serius dari terorisme? Apakah membawa 8.3 kg heroin seperti kasus Bali Nine dan 4.2 kg ganja dalam kasus Corby adalah perkara yang sederhana? Bukankah narkoba dan psikotropika adalah juga pembunuh ribuan anak bangsa dan telah menghancurkan masa depan jutaan lainnya di seluruh dunia?
Menilik inkonsistensi di atas, sepertinya Australia harus kembali belajar pada asas utama dalam sistem common law maupun HAM yang mereka anut. Bahwasanya setiap orang adalah berkedudukan sama di hadapan hukum (equality before the law), setiap orang mempunyai hak atas hidup (right to live) dan mempunyai akses yang sama terhadap keadilan (justice).
Dalam kasus Bali Nine ataupun Bom Bali pilihannya sekarang adalah menjatuhkan hukuman mati untuk kedua kasus tesebut atau tidak sama sekali. Jika hukuman mati dianggap bertentangan dengan HAM atau tidak manusiawi maka tak perlu dieksekusi mati. Tapi jika dipandang layak dieksekusi mati, maka penjatuhannya pun tidak boleh diskriminatif. Hanya untuk kelompok tertentu saja. Jangan sampai terjadi keadilan hanya terjadi pada satu kaum dan menimbulkan ketidakadilan bagi kaum lainnya.
oleh: Heru Susetyo *
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University, Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI – Depok. / dikutip dari Hidayatullah.Com
Sumber: Hidayatullah