(Arrahmah.com) – Setelah sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menegaskan pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait Al Maidah ayat 51 adalah penistaan Alquran, berbagai serangan ditujukan kepada organisasi para ulama ini. MUI diserang mulai dari tuduhan politisasi agama hingga petisi pembubaran MUI. Namun Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, M Cholil Nafis mengatakan mereka yang menuduh MUI berpolitik itu harus paham tentang surah Al Maidah ayat 51 itu murni soal agama. “Masalahnya menjadi politik karena yang memberi pernyataan itu adalah pejabat yang sedang menyalonkan diri kembali dan menafsirkan ayat agama, yang tak dianut oleh dirinya sendiri,” kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (20/10). Hal yang aneh adalah bahwa protes demi protes yang dilancarkan oleh demonstrasi-demonstrasi umat Islam, dianggap sunyi, lalu tuduhan berbalik.
Kita harus sadar, sistem dan rezim di manapun bila berkuasa tidak atas dasar Islam pasti akan merugikan Islam dan umatnya. Apa yang terjadi di negeri ini juga di negeri-negeri Muslim lain, saat ini, juga pada masa lalu, membuktikan hal ini. Oleh karena itu, bagi kita sesungguhnya tidak ada pilihan lain kecuali terus berjuang hingga tegak sistem dan rezim yang berdiri semata di atas dasar dan untuk tegaknya Islam. Hanya dengan cara ini kerahmatan atau kebaikan Islam akan terwujud secara nyata.
Maka jelas sudah bagi kita bahwa ide HAM, kebebasan berpendapat yang ditafsirkan kebebasan menghina Islam, atau ide dan jargon mengenai hak-hak atas adalah ide kufur ciptaan barat, buah dari sistem dan ideologi kapitalisme. Yang lahir dari akidah sekularisme, yakni akidah yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Yang oleh karena itu, haram bagi kita umat Islam untuk mengadopsi, menerapkan dan menyebarluaskan ide-ide bathil yang kufur tersebut. “Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab dan kufur terhadap sebagian. Maka tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal tersebut di antara kalian kecuali kenestapaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan ke dalam siksa yang amat pedih. Dan Allah tidak lalai terhadap apa yang kalian lakukan” (al-Baqarah: 85).
Rangkaian perilaku Ahok dan perilaku-perilaku pelecehan lainnya semakin menegaskan kepada kita ide HAM, selalu saja bersikap diskriminatif terhadap Islam. Ternyata tidak ada pembelaan dari para penggiat HAM, namun ketika ada peristiwa yang dapat digunakan untuk menyerang Islam, baik syariat maupun akidahnya, maka ramai-ramai muncul tudingan disana-sini terhadap syariat maupun akidah Islam.
Meneliti kenapa Ahok sulit diadili, ada baiknya kita simak penuturan Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, sebagaimana yang dimuat di kompas.com 19/10/16, yang menilai posisi Presiden Joko Widodo dalam rangka persiapan Pilpres 2019 akan aman jika Basuki Tjahaja Purnama memenangkan Pilkada DKI 2017. Menurut dia, calon yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017 nantinya menentukan kekuatan Jokowi untuk maju kembali dalam pilpres. Sebab, pasangan calon penantang Basuki-Djarot Saiful Hidayat, mewakili kekuatan yang potensial menjadi lawan politik Jokowi. “Jokowi, menurut saya, Ahok (sapaan Basuki) harus menang supaya (posisi) Jokowi aman. Kalau Anies yang menang, ini sudah oposisi yang menang, lalu dia orang yang baru diberhentikan kan,” kata Hendri saat menghadiri talk show “Membangun Jakarta untuk Rakyat” yang diadakan DPP PAN, Rabu (19/10/2016) petang.
Pada akhirnya masyarakat makin tahu, mereka merasa tidak mendapat manfaat yang semestinya dari rezim dan sistem demokrasi hakikatnya tidak berpihak pada aspirasi kaum muslim. Masyarakat pada akhirnya juga merasa selama ini hanya diperalat, dijadikan obyek dan komoditas politik bahkan alat tawar demi mendapat “harga” (baca manfaat finansial) tinggi. Maka ketika ada kesempatan, sebagian masyarakat pun menjadikan suaranya yang ber-“harga” untuk mendapat manfaat. Siapa pun yang datang memberikan uang akan diterima, tanpa peduli siapa sebenarnya yang didukung. Ungkapannya “kapan lagi mendapatkan uang dari para politisi kalau tidak pada momen pemilu?”
Melihat tumpulnya hukum-hukum demokrasi menyadarkan bahwa keberpihakan bukan untuk memenuhi kepentingan Islam dan kaum muslim, tetapi kepentingan asing baik Barat maupun Timur; juga kepentingan para kapitalis, rezim penguasa, golongan dan partai. Kabinet Kerja pada akhirnya akan makin mengokohkan neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Keduanya adalah ancaman besar bagi negeri ini dan penduduknya.
Pangkal dari semua itu adalah penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme dengan politik demokrasinya yang sarat dengan politik transaksioal dan sistem ekonomi liberalnya. Sudah terbukti semua itu telah membuat negeri ini terpuruk. Karena itu tidak layak sekularisme-kapitalisme dengan demokrasi dan liberalismenya itu terus dipertahankan. Semua itu harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam, dengan penerapan syariah secara menyeluruh. Syariah akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Termasuk pelecehan terhadap al Qur’an.
Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)
(*/arrahmah.com)