Oleh Suhari Rofaul Haq (Praktisi pendidikan dan politik)
(Arrahmah.com) – Aib hukum dalam sistem demokrasi kian hari semakin jelas bagi yang mau berfikir. Persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi pelajaran. Negara yang menjadikan hukum sebagai panglima, nyatanya hukum dimainkan oleh pemilik kuasa. Polemik pasal 83 ayat 1, 2 dan 3 UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Presiden RI berkewajiban mengeluarkan SK pemberhentian bagi gubernur yang bersetatus terdakwa menambah deretan panjang. Seolah hukum ada untuk melayani kepentingan pihak tertentu. Maka anggapan masyarakat dimana ada hukum disitu pasti ada kepentingan benar adanya.
Dalam kasus yang menimpa mantan Gubernur Banten dan Sumatera Utara, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara setelah pengadilan menerbitkan surat register perkara. Sementara untuk kasus Ahok, presiden menunda nunda dan tidak segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara bahkan Mendagri berusaha untuk mengaktifkan kembali jabatan gubernur Ahok setelah masa cutinya habis. Tidak berlebihan jika Faisal, ketua PP Muhammadiyah bidang hukum,HAM dan kebijakan publik mencoba menyebutkan penyebabnya,” Sebab hukum telah dimatikan oleh kuasa politik sehingga tidak jarang banyak akrobatik celah hukum yang dilakukan”. News okezone,12/2/2017. Sebegitu lemahkah hukum dihadapan politik dan kekuasaan dan adakah hukum yang kebal dari intimidasi kekuasaan dan politik?
Cacat Bawaan
Hukum yang sedang diterapkan di negeri ini merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum agama dan hukum adat. Mayoritas hukum yang dianut baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum eropa khususnya Belanda sebagai konsekuensi sejarah masa lalu, yakni wilayah jajahan Hindia Belanda. Sedang hukum agama (islam) hanya banyak mengurusi dalam hal perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Namanya campuran sudah pasti banyak kompromi yang melatarbelakangi, apalagi asasnya musyawarah mufakat berdasar suara terbanyak maka keinginan akal manusia terbanyak menjadi penentu akhir keputusan dan titah wahyu dari pencipta terkalahkan. Hukum agama akan diambil jika menguntungkan jika tidak akan diabaikan. Hukum pencipta akan diseleksi, dipilah dan dipilih selanjutnya dimusiumkan. Tragis.
Pertimbangan hukum dalam demokrasi hanyalah akal semata peran wahyu dikesampingkan, padahal Imam Abu Ishaq Ibrohim bin Musa asy Syathiby mengatakan, “Akal jika tidak mengikuti syari’at maka tidak tersisa baginya selain hawa nafsu dan syahwat”, Al I’tisham I/51. Menuruti hawa nafsu dan syahwat merupakan indikator kelemahan. Nabi saw bersabda:
“Orang cerdas adalah yang bisa mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal setelah kematian, sedang orang lemah adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berharap masuk surga (tanpa beramal)”. Hadits dikeluarkan dari At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Syadad bin Aus.
Hukum dalam sistem demokrasi rentan dan mudah diintimidasi oleh politik pragmatis. Karenba sifatnya tidak mandiri dan berdaulat, gampang tersandera sebagaimana kasus penistaan agama oleh Ahok. Kekuatan kepentingan dibelakangya mampu menjungkirbalikan logika hukum. Kalau dulu masih malu mengintimidasi hokum, tapi sekarang rasa malu itu kalah dengan besarnya nafsu dan kepentingan pribadi, kroni dan asing kapitalis. Negeri ini sudah memproklamirkan diri sebagai negeri yang berdasar atas hukum. Konsekuensinya kasus Ahok seharusnya murni didasarkan pada perspektif politik, namum yang terjadi intervensi politik sangat kental dan telanjang. Akibatnya hukum akan terdegradasi dan berpotensi menyebabkan kerusuhan social dengan imbas perpecahan, rakyatpun semakin tidak percaya dan hatinya pilu. Jika demikian adanya, maka kembali kepada hukum Islam sebagai solusinya.
Hukum Islam bukan mainan
Hukum dalam islam itu berbasiskan wahyu ilahi. Sumbernya dari Sang Pencipta Yang Maha Adil. Mustahil jika ada kekurangan apalagi ketidakadilan. Paling yang terjadi dan ini jarang adalah kesalahan dalam pelaksanaanya saja akibat human error. Dalam islam ada kaidah “dimana ada syara’ disitu pasti ada kebaikan”. Kebaikan ditentukan oleh Allah swt selaku pembuat hukum. Akal tidak boleh menentukan kebaikan atau keburukan sendiri karena akal sangat terbatas dan berbahaya jika tanpa syara’ Keagungan hukum islam berikutnya adalah semua struktur dan lembaga yang terkait berfungsi dengan jelas dan tidak tumpang tindih. Tidak ada yang menintervensi baik kekuasaan maupun kepentingan politik. Semua lembaga peradilan saling menghormati fungsi dan keputusan yang dihasilkan karena mandiri hanya tunduk pada keadilan semata.
Keunggulan hukum islam berikutnya adalah hukum berfungsi sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir maksudnya hukum ditegakkan untuk menjadi pencegah dan pelajaran bagi masyarakat, sehingga orang tidak akan melakukan atau mengulangi lagi. Sedang jawabir adalah untuk menghapus dosa. Jika hukum telah diterapkan di dunia maka di akhirat kelak akan bebas dari siksa yang pedih. Inilah rahasianya dalam sejarah penerapan hukum islam banyak orang yang terlanjur melanggar hukum dengan sadar dan ikhlas mendatangi pengadilan untuk diterapkan hukum pada dirinya, sesuatu yang hampir mustahil terjadi dizaman demokrasi ini.
Satu bukti keadilan dan keagungan hukum islam adalah apa yang menimpa sahabat Ali ra,seorang kholifah dari negeri adidaya yang harus kalah dipersidangan menghadapi seorang Yahudi, rakyatnya sendiri yang beda agama untuk mengambil hak milik baju besinya dari tangan Yahudi tersebut. Kholifah harus kalah karena saksi yang diajukan adaalah pekerjanya sendiri dan putranya, Hasan. Kesaksiannya ditolak oleh hakim yang memutus padahal sang hakim adalah murid imam Ali ra sendiri. Putusan hakim yang adil ini meski bagi imam Ali ra dan Yahudi terasa tidak adil karena tidak sesuai dg kenyataan yang sebenarnya beliau terima dengan ihklas karena beliau cerdas demi kehidupan setelah mati kelak dan bagi yahudi keputusan tersebut menjadi wasilah dirinya masuk islam karena begitu adilnya hukum islam. Keputusan yang dirasa “kurang adil” saja bagi satu pihak bisa barokah apalagi jika adil dirasakan semua pihak yang lagi bersengketa? Maha adil Allah dengan hukum hukumNya,Semua itu hanya terjadi dalam system islam dalam bingkai Khilafah ar Rosyidah. Masihkah kita percaya pada hukum demokrasi dan abai terhadap sistem Khilafah? Wallahu a’lam bish showab.
(*/arrahmah.com)