Oleh Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Ketua MIUMI Aceh & anggota Rabithah Ulama dan Duat Asia Tenggara
(Arrahmah.com) – Islam merupakan agama yang sempurna. Semua persoalan dalam kehidupan manusia telah diatur dalam Al-Quran, baik persoalan agama, politik, ekonomi maupun sosial. Dalam konteks politik misalnya, Islam telah mengatur segala persoalan yang berkaitan dengan politik, negara dan kepemimpinan, termasuk masalah memilih pemimpin.
Dalam persoalan memilih pemimpin, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang umat Islam memilih pemimpin kafir. Dengan kata lain, seorang muslim wajib memilih pemimpin muslim. Ajaran Islam ini wajib disampaikan kepada umat Islam kapan saja dan di manapun mereka berada untuk diamalkan. Mengamalkan ajaran Islam wajib tanpa ada batasan waktu dan tempat.
Namun, masih ada sebahagian umat Islam yang tidak mengamalkan ajaran Islam tersebut dengan mendukung, membela dan memilih pemimpin kafir seperti pada pilkada Jakarta yang lalu dan saat ini dengan menjadikan Basuki Cahaya Purnama alias Ahok sebagai pemimpin. Mereka menjual keimanannya dengan dunia. Bahkan dengan bangga dan terang-terangan mendukung, membela dan memilih orang kafir. Mereka menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah orang-orang munafik (liberal dan sekuler) yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Pemikiran dan sikap mereka sangat berbahaya terhadap keimanannya, Islam dan umat Islam.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa memilih pemimpin kafir itu hukumnya haram. Keharaman ini berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama. Memilih pemimpin kafir sama saja menentang Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’. Begitu pula mereka sepakat mengatakan haramnya mendukung dan membela orang kafir untuk menjadi pemimpin. Memilih orang kafir menjadi pemimpin berarti mencintai, mendukung dan membelanya. Meskipun seseorang tidak memilihnya secara langsung, namun dia telah memilihnya secara tidak langsung.
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan keharaman tersebut. Di antaranya, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi Nasrani sebagai pemimpin (kamu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana..”(Al-Maidah: 51)
Dalam ayat tersebut Allah Swt melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, baik dengan cara memilih, mendukung maupun membelanya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam muslim yang memilih, mendukung dan membela pemimpin kafir bahwa dia bagian dari orang kafir tersebut. Jadi, persoalan ini berkaitan erat dengan keimanan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah: 57). Allah Swt tegaskan larangan tersebut kepada orang-orang beriman. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan keimanan mereka dengan persoalan memilih pemimpin kafir, dengan menegaskan bahwa jika mereka orang yang beriman maka wajib mereka mematuhi larangan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang melakukannya dengan siksaan yang pedih di dalam neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (Ali ‘Imran: 28). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberikan alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)? (An-Nisa’: 144)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam muslim yang mendukung, membela dan memilih orang kafir sebagai pemimpin dengan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang kafir dengan firman-Nya: “…Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka…” (Al-Maidah: 51).
Tidak hanya ancaman tersebut, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis muslim tersebut telah berbuat kezhaliman, “…Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51). Orang yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin divonis zhalim oleh Allah Swt karena dia telah membangkang dan menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melarang seorang muslim untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menvonis muslim tersebut sebagai orang munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah.” (An-Nisa’: 138-139).
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis mereka sebagai orang yang tersesat. Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Mumtahanah: 1).
Menjadikan orang kafir sebagai teman setia saja haram hukumnya, maka terlebih lagi menjadi pemimpin umat Islam. Karena, mudharat menjadikan orang kafir sebagai pemimpin jauh lebih besar dibandingkan sekedar menjadikannya sebagai teman setia.
Ayat-ayat diatas semuanya merupakan dalil-dalil yang mengharamkan seorang muslim menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, baik dengan cara mendukung, membela maupun memilihnya.Ayat-ayat tersebut juga merupakan dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam memilih pemimpin muslim. Inilah ajaran Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh seorang muslim. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mendukung, membela dan memilih pemimpin muslim, sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala di ayat-ayat Al-Quran di atas.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan memilih pemimpin kafir berkaitan erat dengan keislaman dan keimanan seseorang. Memilih pemimpin kafir dapat membatalkan keislaman dan keimanannya. Begitu pula mendukung dan membela orang kafir menjadi pemimpin serta menjadikan orang kafir sebagai teman setia. Hukumnya sama seperti orang yang memilih pemimpin kafir yaitu zhalim, munafik dan sesat. Karena, memilih orang kafir menjadi pemimpin itu berarti mendukung dan membelanya untuk menjadi pemimpin.
Selain itu, orang tersebut telah melanggar kewajiban al-walaa’ (mencintai dan berloyalitas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya dan umat Islam) dan al-baraa’ (membenci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah Swt, Rasul-Nya dan umat Islam, yaitu orang-orang kafir, musyrik, atheis/komunis dan orang-orang sesat). Dia telah berwalaa’ kepada orang kafir dan tidak melakukan al-baraa’. Padahal, umat Islam wajib berwalaa’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbaraa’ terhadap orang kafir. Tentu saja sikapnya ini bisa membatalkan keislamannya. Kewajiban walaa’ dan baraa’ termasuk aqidah Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita dan menjauhkan kita dari kesesatan.
(*/arrahmah.com)