Soal : Bagaimana hukum memanjangkan pakaian jika dimaksudkan untuk sombong ataupun bukan? Dan bagaimana hukumnya jika seseorang terpaksa memanjangkan pakaiannya baik karena paksaan dari keluarganya, jika ia masih kecil, maupun karena kebiasaan yang berlaku?
Jawab :
Hukumnya haram bagi kaum laki-laki, berdasarkan sabda Nabi SAW,
“Bagian dari kain sarung yang lebih rendah dari kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya).( Al-Bukhari dalam al-Libas (5787)
Dari Abu Dzar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Ada tiga orang yang tidak akan disapa oleh Allah SWT pada hari kiamat dan Allah tidak akan melihat kepada mereka dan tidak juga akan menyucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih; orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya, orang yang memanjang-kan kain sarungnya dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (Muslim dalam al-Iman (106) ; an-Nasa’i dalam az-Zakat (2564). Lafazh ini dari riwayat an-Nasa’i)
Kedua hadits ini dan pengertian yang dikandung keduanya berlaku umum bagi orang yang memanjangkan pakaiannya baik untuk kesombongan maupun bukan. Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW menunjukkannya secara umum dan tidak meng-khususkan sesuatu. Jika memanjangkan pakaian itu untuk sombong, maka dosanya akan menjadi lebih besar dan ancamannya pun lebih keras, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” (Al-Bukhari dalam al-Libas (3665); Muslim dalam al-Libas (2085))
Seseorang tidak boleh beranggapan bahwa larangan memanjangkan pakaian tersebut bersifat khusus dengan maksud kesombongan; karena Rasul SAW tidak mengkhususkan hal itu dalam hadits yang lain, yaitu sabda beliau kepada sebagian sahabat beliau,
“Hendaknya kamu sekalian menjauhi memanjangkan kain sarung (pakaian) karena hal itu merupakan bagian dari kesombongan.” (Abu Daud dalam al-Libas (4084); Ahmad (65/4) (15525))
Oleh karena itu, semua bentuk memanjangkan pakaian termasuk dalam kategori kesombongan atau pamer. Karena seringkali yang terjadi adalah demikian. Jadi, seseorang yang memanjangkan pakaiannya bukan untuk pamer, tetapi hal itu merupakan perantara menuju ke sana, dan perantara tersebut hukumnya sama dengan hukum tindakan yang diakibatkannya. Hal itu juga karena merupakan sikap berlebih-lebihan dan sangat memungkinkan pakaian terkena najis dan kotoran. Berkenaan dengan hal itu, berdasarkan riwayat dari Umar RA ditegaskan bahwasanya beliau melihat seorang pemuda mengenaikan pakaian yang menyentuh tanah lalu beliau berkata kepadanya,”Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya hal itu lebih suci bagi Tuhanmu dan lebih membersihkan pakaianmu.”
Sedangkan sabda Rasulullah SAW kepada Abu Bakar RA ketika beliau berkata kepada Rasulullah,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kain sarungku melorot, kecuali aku berupaya menjaganya. Rasulullah SAW bersabda,
“Engkau tidak termasuk orang yang bermaksud kesombongan.” (Al-Bukhari dalam al-Libas (5784))
Yang dimaksud Rasul SAW bahwa orang yang memelihara pakaiannya, jika kainnya melorot lalu ia mengangkatnya, maka orang tersebut tidak termasuk orang yang memanjangkan pakaiannya hingga menyapu tanah untuk pamer karena ia tidak memanjangkannya. Akan tetapi, hal itu adalah karena kainnya yang melorot lalu ia berusaha mengangkatnya dan memeliharanya. Tidak diragukan lagi bahwa kasus ini dimaafkan.
Namun demikian, orang yang sengaja melorotkannya, apakah hal itu mantel, celana, kain sarung atau baju gamis, maka ia termasuk orang yang mendapat ancaman dan tidak dimaafkan atas tindakannya memanjangkan pakaian tersebut, karena hadits-hadits yang shahih yang melarang memanjangkan pakaiannya bersifat umum, baik dari segi konteksnya, maknanya maupun maksudnya.
Maka, kewajiban atas setiap muslim adalah menghindari memanjangkan pakaian dan hendaknya bertakwa kepada Allah SWT dalam hal tersebut, dan jangan memanjangkan pakaiannya lebih rendah dari mata kaki sebagai wujud pelaksanaan atas hadits-hadits shahih dan menghindarkan diri dari kemurkaan Allah dan siksaNya. Hanya Allah-lah Yang Maha Memberi taufiq.
(Kitab ad-Da’wah, hal. 128-129, Ibn Baz. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, PENERBIT DARUL HAQ)