(Arrahmah.com) – Kebablasan dalam bertoleransi telah lama melanda kehidupan umat Islam. Hal ini tentu salah-satu dari akibat gencarnya gaung HAM, tuntutan dalam kebebasan berekspresi, serta pelaziman bahwa semua agama adalah benar. Selain alasan mendasarnya yaitu karena minimnya pengetahuan umat atas syari’at diennya akibat ghirohyang lemah dalam mempelajari ilmu-Nya.
Begitu juga yang acapkali terjadi di setiap penghujung tahun Masehi, hiruk-pikuk perayaan Natal seolah menguasai penjuru tempat—mulai dari media massa, fasilitas umum, hingga pusat-pusat perbelanjaan. Pernak-pernik bernuansa khas pun tampak semarak menghiasi sudut-sudutnya. Bahkan yang sudah semakin akrab terlihat adalah para pramuniaganya yang berjilbab turut mengenakan pernak-pernik tersebut saat melakukan aktivitasnya.
Lalu bagaimanakah hukum-hukum yang berkenaan dengan perihal ini? Berikut beberapa yang bisa disimak:
a. Hukum mengucapkan selamat pada perayaan umat kafir
Berikut adalah pernyataan syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin:
Memberikan ucapan selamat pada hari raya umat kafir, seperti perkataan “selamat Natal”, maka hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama’. Imam Ibnu al-Qoyyim rahimahullah dalam Ahkamu Ahli Dzimmah menuliskan bahwa mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar mereka adalah haram. Perbuatan mengucapkan selamat seperti itu—kalaupun si pelaku selamat dari kekufuran—maka ia telah melakukan sesuatu yang diharamkan, sebab perbuatan tersebut sama saja dengan meridhoi peribadahan pada perayaan mereka, bahkan ucapan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah Ta’ala ketimbang memberi ucapan selamat kepada peminum khamr, pembunuh, pezina, atau selainnya.
Terlalu banyak umat Islam yang tidak mengetahui akan hukum ini sehingga mudah terseret untuk mengikuti perbuatan maksiat ini. Mereka sama-sekali tidak menyadari bahwa perbuatan ini mengundang kemurkaan Allah Ta’ala. Hal tersebut karena dalam perbuatan itu tercermin adanya pengakuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran, ikhlas terhadap perbuatan kufur yang dilakukan orang lain, serta ikut berpartisipasi dalam melaungkan kekufuran tersebut sedangkan Allah azza wa jalla telah jelas menyatakan,
Artinya, “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhoi kekafiran bagi hamba-Nya…”(QS. az-Zumar, 39:7)
Dalam satu keadaan, terkadang umat kafir tersebut yang memulai tanpa sungkan mengucapkan selamat Natal kepada seorang muslim. Bila menemukan keadaan seperti ini, maka jika demikian seorang muslim tetap tidak diperbolehkan menyambut salam yang mereka ucapkan itu karena hal ini termasuk sikap meridhoi pula.
Lalu bagaimana sikap seorang muslim yang merasa sungkan untuk tak mengucap selamat pada perayaan umat kafir, sedangkan mereka telah mengucap selamat ketika hari raya umat Islam? Ini adalah risalah yang biasa muncul pada setiap muslim yang biasanya memiliki kerabat, atau teman,atau tetangga, atau relasi dari golongan kafir. Mereka telah menampakkan sikap baiknya dengan mengucapkan selamat hari raya pada seseorang yang muslim, sehingga kemudian timbul ‘tuntutan’ untuk membalas toleransi mereka. Maka selayaknya seorang muslim sejak awal menampakkan sikap tegasnya untuk tidak mencampur-adukkan antara muamalah dan sikap bertauhidnya, sehingga mereka (umat kafir) pun menjadi menarik-diri untuk membiasakan memberi ucapan selamatnya itu. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “…Allah menjadikan kamu cinta akan keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. al-Hujurat, 49:7)
Ayat diatas memberi kejelasan bahwa seorang muslim wajib menumbuhkan kebencian bila melihat prilaku yang dibenci Allah Ta’ala, seperti kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan—dalam hal ini, perbuatan orang kafir yang merayakan hari kekafiran mereka dan turutnya seorang muslim dalam perayaan tersebut termasuk perkara yang wajib dijauhi oleh seorang yang mengaku muslim.
Ulama telah mengeluarkan fatwanya mengenai hal ini bahwa tidak boleh seorang muslim memberi ucapan selamat kepada orang Kristen di hari raya mereka karena sesungguhnya dalam perbuatan tersebut terdapat unsur sikap saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa padahal Allah Ta’ala telah tegas melarang perbuatan ini.
Anggapan bahwa umat Islam tidak menanamkan sifat toleransi seperti yang dilakukan umat lain terhadapnya adalah salah-satu bentuk laungan kesesatan. Persis seperti pemberitaan Allah Ta’ala bahwa jika mereka berlemah-lembut kepada umat Islam, maka umat Islam harus membalas kelemah-lembutan mereka. Ini juga yang dimaklumatkan oleh seorang yang mengaku muslim namun memiliki cara berpikir liberal—Abdul Moqsith Ghazali, yang mengatakan bahwa tolok-ukur toleransi antar muslim dan umat Kristen adalah pada hal saling memberi ucapan selamat saat hari raya keduanya.
Imam Ibnu Taimiyyah, imam Ibnu al-Qoyyim, syaikh Bin Baaz, serta syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah mengatakan perihal diharamkannya mengucapkan selamat Natal, termasuk dalam hal ini, mengucapkannya melalui media-media telekomunikasi yang tersedia saat ini, seperti melalui telepon, pengiriman kartu atau parsel, pengiriman pesan singkat, email, maupun media lainnya. Ini merupakan sikap tegas bahwa prinsip dalam berakidah tauhid tidak akan pernah bercampur dengan kebatilan sampai kapanpun juga.
b. Hukum menghadiri perayaan umat kafir
Dahulu, khalifah Umar bin Khattab ra yang terkenal bersifat memiliki ketegasan, pernah mengeluarkan sebuah undang-undang berkaitan dengan kegiatan umat musyrik dari golongan kafir dzimmi yang berusaha tetap ingin melanggengkan hari raya mereka. Undang-undang tersebut diantaranya berisi pelarangan kepada umat kafir dzimmi untuk secara terbuka memperlihatkan prosesi hari rayanya. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan apa yang bisa dilihat sekarang. Dimana umat kafir memiliki kebebasan yang tiada berbatas hingga menyentuh ke ranah-ranah akidah umat Islam dalam memeriahkan perayaan mereka. Ditambah pondasi keilmuan yang tak mumpuni, akhirnya inilah yang terjadi, yaitu seorang muslim turut hadir ketika umat kafir merayakan hari kemusyrikannya. Mereka memenuhi undangan karena lagi-lagi alasan toleransi. Tak jarang mereka mengeluarkan hujjah bahwa dalam syari’at Islam pun terdapat adanya kewajiban untuk memenuhi undangan.
Semoga mereka segera menyadari bahwa perbuatan ini adalah suatu kekeliruan yang mengundang laknat Allah Ta’ala. Coba bayangkan tentang perkataan yang mereka ucapkan kepada umat kafir tersebut: “Selamat hari Natal, ya…” Kalimat ini memang singkat dan nampak seperti sesuatu yang sepele, akan tetapi tidak dihadapan Allah Ta’ala. Pahamilah bahwa syari’at-Nya tidak akan bisa diakal-akali dengan berbagai hujjah manusia, baik karena pura-pura, sungkan, malu, maupun tidak enak karena sudah diundang, apalagi dengan membawa dalil adanya kewajiban memenuhi undangan…
Ibnu Abbas mengatakan,
إنَّهَا هُوَ كِتَابُ الله وَ سُنَّةَ رَسُولَهُ فَمَنْ قَالَ بَعْدَ ذَالِكَ بِرُأْيَه فَلاَ ندري أفي حسناته يجد ذَالِكَ أَمْ فِيْ سَيِّئَاتِهِ.
Artinya, “Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya dalil, maka kami tidak tahu apakah hal tersebut akan ia jumpai dalam catatan kebaikannya atau dalam dosanya.”
Allah Ta’ala berfirman tentang hukumnya menyaksikan suatu kebatilan,
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan jika mereka melewati sesuatu yang sia-sia, mereka lewat sebagaimana layaknya orang-orang yang mulia.” (QS. al-Furqon, 25:72)
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat tersebut menjelaskan sifat hamba-hamba Allah yang diantaranya yaitu tidak memberikan kesaksian palsu. Ada banyak makna az-zuur yang dikemukakan para ulama’, yaitu kesyirikan, penyembahan terhadap berhala, berdusta, kefasikan, kekafiran, kebatilan, pertemuan dalam keburukan, hari raya kaum musyrik, dan kesaksian palsu. Firman Allah yang menyatakan, “…dan orang-orang yang tidak menyaksikan keburukan,” memiliki makna mereka tidak menghadiri tempat-tempat yang buruk seperti itu. Karena itu selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, maka mereka melewati saja dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Ibrahim bin Maisaroh meriwayatkan bahwa,
إِنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ مَرَّ بِلَهْوٍ فَلَمْ يَقِفْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ كَرِيْمًا.
Artinya, “Ibnu Mas’ud melewati pertunjukan musik, namun ia tidak berhenti. Kemudian Rasulullah bersabda, “Pagi-pagi dan petang hari, Ibnu Mas’ud menjadi orang yang mulia.” (HR. Ibnu Hatim)
Hal ini juga sebagai dalil penegasan bahwa turut menghadiri hari raya umat kafir adalah merupakan bentuk mudahanah (dukungan yang dilarang) dalam dien Islam.
Semasa Rasulullah, beliau saw pernah menyaksikan penduduk Madinah tengah merayakan hari raya yang mashyur di era jahiliyyah. Lalu beliau saw mempertanyakan perihal itu dan mereka menjawab bahwa kegiatan tersebut sudah biasa mereka kerjakan sejak dahulu. Rasulullah akhirnya bersabda,
إِنَّ اللهَ قَدْ أَبدلَكُمْ بِهِمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْر.
Artinya, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari raya tersebut dengan dua hari raya yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud)
Sikap Rasulullah tersebut adalah sebagai bentuk penafikan terhadap segala praktek jahiliyyah yang sudah terhapus dengan datangnya Islam. Begitupun dengan apa yang pernah dibawa nabi Isa ‘alaihi salaam beserta seluruh syari’atnya yang telah disempurnakan dengan diutusnya beliau saw, sehingga menyebabkan syari’at itu sudah ‘tak layak’ lagi untuk diikuti selamanya. Cukuplah Islam dengan segala kesempurnaannya menjadi panutan setiap kaum muslimin.
Dalam Ahkam Ahli Dzimmah, Imam Ibnu al-Qoyyim menyatakan, “Sebagaimana mereka (kaum musyrik) tidak dibolehkan menampakkan hari rayanya, untuk itu maka tidak boleh bagi kaum muslim menyokong dan membantu mereka, begitu juga tidak dibolehkan menghadiri perayaan hari raya mereka. Hal ini adalah kesepakatan para ulama dan telah ditegaskan oleh para ulama empat mahdzab di dalam kitab-kitab mereka.”
c. Hukum mengenakan atribut-atribut umat kafir
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa akhir-akhir ini telah banyak kita temui keadaan dimana para pramuniaga muslim yang dalam tugasnya turut mengenakan pernak-pernik dengan simbol agama umat kafir di hari-hari perayaan mereka. Mengenai hal ini Islam jelas-jelas melarang perbuatan tersebut, sebab sekali lagi—perbuatan itu termasuk upaya pelaungan syi’ar-syi’ar kesesatan mereka. Sebut saja perkataan Rasulullah saw yang menyuruh seorang muslim untuk membedakan dirinya dari orang-orang kafir/musyrik, diantaranya melalui sisi penampilan dengan memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Demikian pula ketika Allah Ta’ala memerintahkan para perempuan muslim untuk mengenakan jilbab sehingga berbeda dari perempuan-perempuan musyrik jaman jahiliyyah.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “…dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah-laku) seperti orang-orang jahiliyyah dahulu…” (QS. al-Ahzab, 33:33)
Dan juga firman-Nya,
Artinya, “…Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu…” (QS. al-Ahzab, 33:59)
Atribut sinterklas seperti topi dan stelan musim dinginnya yang berwarna merah-putih sudah jelas merupakan simbol-simbol Natal, anak-anak kecil pun sudah mengetahui hal ini. Oleh karena itu, ikut-ikutan mengenakannya sangat dilarang karena perbuatan tersebut juga menjadi pertanda bahwa perayaan itu telah diterima dan diberi kehormatan didalamnya.
Rasulullah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
Artinya, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Ahmad)
Dalam Iqtidha Sirathiil-Mustaqim, Mukhalafatu Ashabil-Jahim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berkata, “Perbuatan meniru-niru mereka (umat kafir) dalam perayaan mereka dapat menyebabkan seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal tersebut akan lebih memotivasi mereka (umat kafir) untuk memanfaatkan momen tersebut (dalam menyia’arkan kesesatannya).”
Namun bagaimana jika keadaannya sangat terpaksa seperti yang mungkin dialami oleh sebagian pekerja muslim yang bekerja di perusahaan-perusahaan kafir? Apalagi jika mereka menolak mengikuti peraturan tersebut, maka terkena sangsi pemutusan kerja. Keluhan seperti inilah yang sering diungkapkan sebagian besar para pekerja muslim. Dengan menyodorkan hujjah karena keterpaksaan dan khawatir akan ladang ma’isyah yang tertutup.
Solusi terbaiknya adalah tidak bekerja dimana perusahaan mewajibkan karyawannya untuk mengikuti peraturan yang berseberangan dengan syari’at, misalnya dilarang berjenggot, dilarang berhijab, diwajibkan mengenakan atribut simbol kafir, atau diperintahkan mengerjakan tugas yang diharamkan dalam melakukan perniagaan, dan selainnya. Ketahuilah bahwa setiap muslim senantiasa diuji keimanannya oleh Allah Ta’ala dengan berbagai-bagai keadaan yang kadang terasa sulit dalam pandangan matanya. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah, 2:155)
Ayat diatas seharusnya menjadi acuan bagi setiap muslim bahwa ia dalam hidupnya tak lepas dari ketetapan Allah Ta’ala berupa ujian-Nya yang pasti akan diterimanya. Ketakutan akan mendapat sanksi dari atasan akibat penolakan untuk tunduk terhadap peraturan yang menyalahi syari’at, juga merupakan barometer sudah seberapa baik tingkat ketauhidannya terhadap Rabbul ‘alamin. Ayat diatas juga menunjukkan bahwa ujian yang dibebankan-Nya itu memiliki kadar yang sedikit, dimana Allah Ta’ala juga sering menghibur hamba-Nya dengan firman-Nya,
Artinya, “…Kami tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. al-An’am, 6:152)
Jadi keyakinan inilah yang wajib ditanamkan dalam hidup seorang muslim bahwa ia mampu melewati setiap cobaan yang diujikan Allah Ta’ala kepadanya. Kegamangannya akibat takut diberhentikan pihak tempatnya bekerja merupakan hal ‘sedikit’ yang tersebut dalam ayat ke-155 surat al-Baqarah diatas. Ia hanya baru diuji dengan peraturan yang andainya pun ditolak tidak akan menyebabkan sanksi kekejaman secara fisik, misalnya dianiaya, diteror, atau dijebloskan ke bui. Coba bandingkan dengan bebanan orang-orang sholih terdahulu yang mendapatkan ujian luar-biasa yang membutuhkan pertaruhan nyawa demi terjaganya keimanan mereka. Ada yang di jemur di terik matahari padang pasir, ada yang dikuliti, ada yang disisir kulitnya dengan sisir besi hingga terpisah antara kulit dan dagingnya, ada yang di penggal kepalanya, ada yang dibantai habis keluarganya, dan siksaan fisik yang mengerikan lainnya—namun itu tidak menggoyahkan keimanan mereka untuk tidak sekedar beralih tunduk dalam kemusyrikan yang diingini kaum kafir. Allah Ta’ala juga menggambarkannya dalam ayat berikut,
Artinya, “Ataukah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. al-Baqarah, 2:214)
Perkara ma’isyah memang selalu jadi bahan pemikiran utama bagi kebanyakan manusia karena ia adalah penopang hidup yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Darinya ia dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, biaya pendidikan, hingga kesehatan. Namun sepatutnyalah semua dikembalikan kepada kekuasaan Allah Ta’ala, sebab tanpa ijin-Nya semua perkiraan, usaha, dan hitung-hitungan manusia tidak akan ada gunanya. Untuk itu keridhoan Allah Ta’ala menjadi sangatlah penting bagi manusia. Dengan ridho-Nya, semua hal akan terasa ringan dan mudah. Dan pencapaian itu hanya bagi orang-orang yang bersabar ketika diuji imannya serta berserah-diri kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan barangsiapa berserah-diri kepada Allah, sedang ia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul-tali yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman, 31:22)
Namun jika seseorang sangat berada dalam kondisi keterpaksaan dimana misalnya ia memiliki kebutuhan mendesak dalam membiayai pengobatan anggota keluarganya atau ia menjadi tulang-punggung keluarga yang wajib memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya, maka peraturan tersebut masih bisa ditolelir dalam keadaan yang sangat darurat. Tentunya dengan catatan, keterpaksaannya tersebut sangatlah memberatkan dirinya dan ketundukkannya terhadap peraturan itu amat ditentang dalam hatinya.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “…tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. al-Baqarah, 2:173)
Namun tetap menjadi kewajibannya untuk mengokohkan tauhidnya sehingga tidak meluntur karena alasan keterpaksaannya tersebut dan ia menyegerakan dirinya untuk berikhtiar berpindah ladang sumber ma’isyahnya ke tempat-tempat yang tidak menyelenggarakan kemaksiatan dan kesesatan yang mengundang laknat Allah Ta’ala.
Fatwa MUI tentang haramnya umat Islam turut menyambut Natal
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya berkaitan dengan turutnya sebagian umat Islam dalam perayaan tersebut dengan mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan dari al-Qur’an dan al-Hadits, seperti berikut ini:
- Bahwa umat Islam diperbolehkan bekerja-sama dan bergaul dengan umat agama lain dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan muamalah,
- Bahwa umat Islam tidak diperkenankan mencampur-adukkan agamanya dengan akidah dan peribadahan umat lain,
- Bahwa umat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa al-Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan terhadap para nabi dan rasul yang lain,
- Bahwa barangsiapa yang berkeyakinan Tuhan lebih dari satu, atau Tuhan memiliki putra dan Isa al-Masih adalah putra-Nya, maka ia termasuk kafir dan musyrik,
- Bahwa pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan bertanya kepada Isa al-Masih bin Maryam tentang apakah ia ketika hidup di dunia telah menyuruh kaumnya untuk mengakui dirinya dan ibunya sebagai Tuhan, pertanyaan tersebut lalu dinafikkan oleh Isa al-Masih bin Maryam,
- Bahwa Islam mengajarkan Allah Ta’ala itu Esa (tunggal),
- Bahwa Islam mengajarkan agar umatnya menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Ta’ala, serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada kemaslahatan.
Lalu berikut adalah isi fatwa MUI:
- Perayaan Natal di Indonesia, meskipun tujuannya untuk merayakan dan menghormati nabi Isa ‘alaihi salaam, akan tetapi Natal tersebut tidak dapat dipisahkan dari risalah yang telah dikemukakan diatas.
- Mengikuti perayaan Natal bersama bagi umat Islam, hukumnya adalah haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Ta’ala, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan perayaan Natal.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam bisshowwab.
Oleh : Ustadz Abu M. Jibriel Abdurrahman