JAKARTA (Arrahmah.com) – Meski pertemuan G20 telah berlalu, namun era penjajahan baru saja dimulai. Betapa tidak, liberalisasi ekonomi di berbagai bidang khususnya di sektor investasi, perdagangan, dan tenaga kerja kian menguat. Sementara eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam Indonesia kian menguntungkan pihak asing, sebagaimana pernyataan resmi Hizbut Tahrir Indonesia pada Senin, (1/12/2014).
Pertemuan puncak para kepala negara yang tergabung dalam G-20 di Brisbane, Australia, telah berakhir pekan lalu (16/11). Sebagaimana pembicaraan tahun-tahun sebelumnya, forum G-20 yang disponsori oleh lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, Bank Dunia, ILO dan OECD tersebut, masih berkutat seputar strategi meningkatkan pertumbuhan ekonomi global di tengah krisis dan perlambatan ekonomi yang mendera sejumlah negara anggotanya seperti Uni Eropa, Jepang dan juga Tiongkok.
Dalam pertemuan tersebut ada beberapa isu utama yang dibahas antara lain pertumbuhan dan pembangunan, penguatan pasar energi, regulasi finansial, reformasi struktural dan makroekonomi, investasi dan infrastruktur, dan strategi menghilangkan hambatan perdagangan. Agenda pembahasan tersebut, kemudian diturunkan menjadi rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang akan menjadi panduan negara-negara anggota termasuk Indonesia.
Memperkokoh Liberalisasi
Jika ditelaah lebih lanjut, rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan masih berkutat pada penguatan liberalisasi ekonomi di berbagai bidang khususnya di sektor investasi, perdagangan, dan tenaga kerja. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan misalnya, pembiayaan infrastruktur di negara-negara berkembang harus didorong dengan mempermudah masuknya investasi swasta. Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja salah satu strateginya adalah meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja.
Di bidang energi, negara-negara yang menguasai 85 persen ekonomi dunia dan 75 persen perdagangan internasional tersebut, sepakat untuk mendorong transparansi pasar energi dengan cara mengurangi subsidi minyak fosil seperti bensin dan solar yang dianggaptidak efisien dan menyebabkan pemborosan.
Salah satu program yang terkait dengan reformasi struktural (baca: regulasi) adalah membenahi infrastruktur melalui peningkatan investasi. Untuk pembangunan infrastruktur, terutama di negara-negara berkembang, para pemimpin G-20 mengakui bahwa dana investasi untuk pembangunan sangat besar besar baik yang berasal dari perbankan maupun dari lembaga-lembaga investasi seperti lembaga pensiun. Namun demikian, investasi masih terhambat oleh sejumlah regulasi. Oleh karena itu, selain mempercepat proses perizinan dan mempermudah akses terhadap pembiayaan, berbagai hambatan investasi khususnya untuk investasi asing harus dihilangkan. Dengan demikian, diharapkan investor khususnya dari negara-negara maju dapat meningkatkan investasinya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pada forum tersebut, juga disepakati memperkuat regulasi untuk mendorong liberalisasi perdagangan termasuk yang digagas oleh WTO di Bali tahun lalu. Beberapa kebijakan tersebut antara lain: pengurangan tarif bea masuk, melakukan deregulasi perdagangan, dan mempermudah prosedur bea cukai. Selain itu, negara-negara G-20 juga bersepakat bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas yang selama ini telah dan sedang dinegosiasikan dapat menjadi pelindung proses liberalisasi di sektor perdagangan.
Merugikan Indonesia
Meski tidak dikategorikan sebagai negara maju, Indonesia selalu ‘mencuri’ perhatian dalam berbagai forum-forum internasional termasuk pada G-20. Bukan karena kekuatan aktualnya, namun karena negara ini sangat potensial termasuk dalam bidang ekonomi. Sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta jiwa, dan juga posisi geografis yang sangat strategis, merupakan modal alamiah yang hanya dimiliki oleh sedikit negara di dunia ini. Apalagi, di saat negara-negara maju mengalami krisis serta melambatnya pertumbuhan ekonomi beberapa negara yang selama ini menjadi penopang ekonomi dunia seperti Tiongkok, Indonesia menjadi sangat istimewa bagi investor negara-negara maju.
Sayangnya, Pemerintah negara ini, termasuk presiden yang baru terpilih, justru larut dalam sistem kapitalisme-liberal. Untuk mengejar investasi, misalnya, pemerintah dalam berbagai kesempatan rela ‘melacurkan’ negara ini untuk dieksploitasi oleh investor-investor asing. Pemerintah nampaknya merasa belum cukup atas dominasi dan eksploitasi asing atas berbagai sektor di negara ini yang jelas-jelas telah menguras kekayaan alam dan kemandirian negara ini.
Padahal telah terbukti, sistem dan strategi pembangunan tersebut justru gagal menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang dapat mensejahterahkan rakyatnya secara merata. Lebih dari itu, sistem yang disokong lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO dan diperkuat oleh berbagai forum seperti G-20 dan perjanjian yang bersifat global, regional dan bilateral tersebut, justru menjadi penyebab utama terciptanya kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, krisis finansial yang terus meledak secara reguler, serta proses dehumanisasi dan eksploitasi alam yang menimbulkan malapetaka bagi penduduk dunia.
Di atas semua itu, sistem kapitalisme sesungguhnya merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam. Pasalnya, sistem tersebut telah menyerahkan proses pembuatan regulasi di bidang ekonomi tunduk kepada hawa nafsu manusia yang selama ini lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara kapitalisme dan korporasi-korporasi global.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan negara ini dan dunia juga dunia dari kekejaman kapitalisme, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Islam, dengan menerapkan ideologi tersebut dalam institusi negara Khilafah Islamiyyah. Sistem yang akan menerapkan hukum-hukum Allah swt, pencipta manusia dan alam semesta tersebut, tidak hanya akan mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi penduduk negeri ini, namun juga rahmat bagi seluruh penduduk dunia. Wallahu a’lam bish shawab. (adibahasan/arrahmah.com)