JAKARTA (Arrahmah.com) – Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Ismail Yusanto, berpendapat Dewan Perwakilan Rakyat telah menjadi alat legitimasi intervensi asing dengan keluarnya peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat.
“DPR telah mengesahkan UU Kelistrikan yang jelas merugikan rakyat,” kata Ismail usai “Refleksi Akhir Tahun 2010” yang digelar HTI, di Jakarta, Selasa (21/12/2010).
Tak hanya itu, intervensi asing, khususnya Amerika Serikat terhadap Indonesia juga terungkap dalam situs Wikileaks. Bahkan, AS akan semakin kuat mencengkeram bangsa Indonesia setelah naskah Kemitraan Komprehensif ditandatangani.
Permasalahan lainnya yang terjadi pada 2010, kata dia, adanya kasus IPO Krakatau Steel dan skandal Bank Century mengindikasikan adanya korupsi negara atau “state corruption” melalui perubahan-perubahan kebijakan dan peraturan.
“Segala usaha memberantas korupsi tidak ada artinya, jika yang terlibat pejabat negara sendiri. Korupsi di Indonesia menunjukkan tendensi yang semakin sistemik, bukan lagi satu atau dua orang, tapi banyak orang secara bersama, seperti kasus Gayus Tambunan,” kata Ismail.
Ia mengatakan, korupsi negara juga diindikasikan oleh makin banyaknya kebijakan ekonomi liberal yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain kenaikan tarif dasar listrik dan pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Menurut dia, rencana pembatasan BBM merupakan usaha pemerintah untuk menuntaskan liberalisasi sektor migas, seperti yang digariskan oleh IMF.
“Kebijakan ini akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir dan SPBU asing akan mengeruk keuntungan besar,” katanya.
Tak hanya itu, liberalisasi juga merasuki dunia politik, dimana DPR yang seharusnya merupakan wakil rakyat, kini justru menjadi alat legitimasi intervensi asing.
Isu teroris dan konflik umat serta aliran sesat masih terus terjadi pada 2010 ini.
Untuk mengatasi permasalahan itu, lanjut Ismail, pemerintah harus meninggalkan sistem yang kapitalis dan sekular dengan kembali pada syariat Islam.
“Sistem demokrasi yang ada saat ini, ternyata malah merugikan rakyat. Indonesia harus kembali pada syariat Islam dan mencari pemimpin yang amanah,” tutur Ismail. (antara/arrahmah.com)