NEW YORK (Arrahmah.id) – Human Rights Watch mengecam keputusan AS untuk memberi Ukraina bom cluster, dengan mengatakan bahwa hal itu akan menimbulkan bahaya besar bagi warga sipil.
“Mereka benar-benar mengerikan bagi warga sipil. Ketika legislator dan pembuat kebijakan di AS melihat foto-foto kembalinya anak-anak dengan anggota tubuh yang hilang, orang tua yang terluka [dan] terbunuh, oleh bom cluster Amerika kita sendiri, akan ada kebangkitan nyata dari bencana kemanusiaan ini,” Sarah Yager, direktur Human Rights Watch Washington, mengatakan kepada Al Jazeera.
Bom-bom ini tidak membedakan antara warga sipil dan personel militer, para ahli menyatakan 5 hingga 40 persen bom tidak meledak saat terkena benturan dan kemudian dapat tetap berada di medan perang selama beberapa dekade.
“Sudah menjadi norma di dunia bahwa bom cluster tidak boleh digunakan. Fakta bahwa Rusia menggunakannya hanyalah alasan lain mengapa mereka tidak boleh digunakan,” kata Yager.
Handicap Internasional-Humanity and Inclusion (HI), sebuah organisasi kemanusiaan turut mengutuk rencana Amerika Serikat untuk memasok bom cluster yang kontroversial ke Ukraina, mengutip bahaya jangka panjang yang ditimbulkan oleh senjata yang meninggalkan bom yang tidak meledak.
“Ini adalah hukuman mati bagi warga sipil dalam jangka panjang. Bahkan anak-anak yang belum lahir akan turut menjadi korban bom curah ini,” kata Baptiste Chapuis dari HI, Jumat (7/7/2023).
Ketika meledak, bom cluster menyebarkan sejumlah bom kecil di area seluas beberapa lapangan sepak bola, dengan sejumlah besar terkubur di dalam tanah alih alih meledak.
Oleh karena itu, senjata-senjata itu secara efektif meninggalkan ladang besar ranjau anti-personil di belakang mereka – memicu gelombang kecaman bahkan sebelum pengiriman Amerika dikonfirmasi.
“Rencana AS untuk mentransfer bom cluster ke Ukraina adalah langkah mundur, yang merusak kemajuan besar yang dibuat oleh komunitas internasional dalam upayanya untuk melindungi warga sipil dari bahaya semacam itu,” kata peneliti Amnesty International Patrick Wilcken dalam sebuah pernyataan, mengatakan kelompok bantuan itu “mendesak AS untuk mempertimbangkan kembali”. (zarahamala/arrahmah.id)