NEW YORK (Arrahmah.com) – Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch (HRW) pada Selasa (19/12/2017), korban Rohingya dari desa Tula Toli menggambarkan bagaimana perempuan dan anak-anak dibakar, diperkosa dan dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar.
Brad Adams, direktur Asia di HRW, mengatakan: “Kekejaman tentara Burma (Myanmar) di Tula Toli tidak hanya brutal, tapi juga sistematis.”
“Tentara melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap ratusan orang Rohingya dengan kejam yang hanya bisa terjadi dengan perencanaan awal,” kata Adams.
HRW mewawancarai 18 orang pengungsi dan saksi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh setelah kekejaman yang mereka katakan dilakukan di desa Tula Toli di negara bagian Rakhine pada akhir September-awal Oktober.
Hassina Begum, seorang perempuan berusia 20 tahun yang selamat dari pembantaian tersebut, menceritakan tentang apa yang terjadi di negara bagian Rakhine.
“[Para tentara] membawa anak-anak dari ibu mereka, membunuh beberapa dari mereka dan melemparkan mereka ke dalam api. Saya mencoba menyembunyikan anak perempuan saya di bawah jilbab yang saya kenakan sehingga tidak ada yang bisa melihatnya. Saya bertingkah seolah tidak memiliki anak.”
Tapi usahanya gagal. Anaknya direnggut paksa dari Hassina dan dilemparkan ke dalam kobaran api.
“Apa yang bisa saya lakukan? Saya beku di sana dan menangis, tapi mereka memaksa kami untuk pergi, mereka membawa kami pergi dengan paksa… Prajurit yang membawa anak perempuan saya, memegang pisau di tangannya dan sebuah senapan di atas bahunya,” katanya pada HRW.
Shawfika (24) juga menyaksikan kekejaman serupa.
“Saya terbangun dan menyadari bahwa saya berada di genangan darah yang lengket, saya mencoba untuk membangunkan yang lain tapi mereka tidak bergerak. Kemudian saya menembus dinding bambu dan melarikan diri. Ketika saya melarikan diri dari rumah, semua rumah di daerah itu terbakar, saya bisa mendengar kaum perempuan menjerit dari beberapa rumah lain, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lalapan api.”
Rajuma Begum (20) mengatakan anaknya, balita berusia 16 bulan, dan dua anak lainnya berusia lima dan tujuh tahun, terbunuh dengan parang sementara sang ibu dipaksa untuk menonton. Ketiga ibu tersebut kemudian diperkosa oleh tentara.
“Ketika mereka selesai, saya dipukul dua kali dengan tongkat kayu, di kepala dan dagu. Mereka memukuli kami sampai kami setengah sadar, lalu mereka membakar rumah kami,” katanya.
Mumtaz Begum (30) mengatakan kepada HRW bagaimana dia melarikan diri dari rumahnya yang terbakar.
“Keempat anak saya ada bersama saya, saya memeluk mereka. Mereka memukul bayi saya terlebih dahulu, lalu membunuh kedua anak laki-laki saya, pertama-tama memukul mereka dengan tongkat dan kemudian dengan parang.”
“Saya menembus dinding, dan anak perempuan saya sudah berada di luar. Saya mencoba kembali untuk mendapatkan jenazah anak-anak saya, tapi mereka sudah terbakar sehingga kami harus meninggalkannya.”
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kaum yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Sedikitnya 9.000 Rohingya tewas di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, dari 25 Agustus sampai 24 September, menurut Dokter Tanpa Perbatasan.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 12 Desember, organisasi kemanusiaan global mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Jumlah ini termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
PBB telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan sistematis yang dilakukan oleh petugas keamanan.
Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut kemungkinan besar merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (althaf/arrahmah.com)