JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA kembali melayangkan kritik terhadap RUU Omnibus law Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
Hidayat menolak sejumlah sanksi pidana RUU Ciptaker yang berpotensi mengkriminalisasi penyelenggara pendidikan Pesantren. Baik jalur pendidikan formal maupun non formal, Pesantren tradisional maupun modern.
“Ada beberapa ketentuan dalam RUU Omnibus law Cipta Kerja yang harus diwaspadai bersama agar kehadirannya tidak kontraproduktif, mempidana para Kiyai atau Ustadz yang menyelenggarakan pendidikan via Pesantren baik modern maupun tradisional, karena hanya persoalan perizinan yang belum beres,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (1/9/2020), sebagaimana dilansir Teropong Senayan.
Hidayat menyebut beberapa ketentuan yang bermasalah dalam Klaster Pendidikan di Omnibus Law Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pasal 51 ayat (1), Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1).
Ketentuan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal (termasuk pendidikan keagamaan seperti Pesantren) yang didirikan oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan dan wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Menurutnya, apabila satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa Perizinan Berusaha, maka penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Hidayat menilai ketentuan umum ini sangat berbahaya dan perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri, yakni UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sangsi administratif.
“Jadi RUU Ciptaker ini tak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pesantren,” ujarnya.
Hidayat menegaskan, kritik perlu disampaikan agar ketentuan pemberian sanksi pidana untuk Pesantren yang ada dalam RUU Ciptaker, menghambat pendidikan di Pesantren.
Apalagi, lanjutnya, jumlah pondok di Indonesia sangat besar, mencapai lebih dari 28.000 lembaga, sebagian diantaranya sudah berdiri sebelum Indonesia Merdeka. Bahkan pondok-pondok, itu ikut berjasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meski didirikan secara non formal dan sepenuhnya swadaya Masyarakat atau para Kiyai.
“Ada beberapa yang didirikan tanpa mengurus perizinan secara lengkap karena memang sejak zaman Indonesia Merdeka tidak pernah ada aturan yang mewajibkan perizinan dan sanksi pidana bila tidak penuhi aturan pendirian,” terangnya.
Hidayat juga mengapresiasi langkah Kementerian Agama yang memberikan klarifikasi dan mengeluarkan siaran pers untuk menjelaskan sanksi pidana terhadap penyelenggara satuan pendidikan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker tersebut tidak berlaku untuk Pesantren karena telah hadir Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Pernyataan Menag bahwa dalam konteks ini berlaku asas lex spesialis derogat deli generali, yakni aturan UU Pesantren yang bersifat khusus mengesampingkan aturan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker, patut disosialisasikan dan didukung. Namun, pernyataan itu belum cukup,” ujarnya.
HIdayat memaparkan, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, akan lebih baik dan efektif apabila asas itu disebutkan definitif ke dalam norma/pasal suatu undang-undang. Menurutnya, hal tersebut dapat meminimalisasi sengketa penafsiran di kemudian hari oleh aparat penegak hukum di lapangan, sehingga bisa berujung kepada kriminalisasi Pesantren dan para Kiyai/Ustadz Pengelola Pesantren.
“Apa jaminannya polisi, jaksa atau hakim akan mengikuti cara berpikir Menag tersebut, ketika teks perundangannya berbunyi seperti itu. Itu lah sebabnya pengecualian atau pengkhususan tersebut perlu ditulis secara tegas dalam UU Cipta kerja. Menag harus bisa memastikan bahwa asas lex spesialis untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren itu disebutkan sebagai pengecualian dalam Omnibus Law RUU Ciptaker untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para penyelenggara pendidikan Pesantren agar tidak dikriminalisasi,” tukasnya.
HNW juga menyadari bahwa ketentuan Pasal 71 ayat (1) juga bukan hal yang benar-benar baru karena juga diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Namun, ia menilai munculnya kembali ketentuan tersebut dalam Omnibus Law RUU Ciptaker telah membangkitkan kewaspadaan umat Islam agar kriminalisasi tidak dijatuhkan kepada penyelenggara Pesantren baik tradisional maupun modern.
Hidayat juga mempertanyakan dihapusnya Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dalam UU Sisdiknas melalui Omnibus Law RUU Ciptaker ini. Padahal, ketentuan itu memuat sanksi pidana bagi para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah atau gelar akademik tanpa hak dan setiap orang yang menggunakan ijazah atau gelar akademik terbukti palsu.
“Di sini lah salah satu keanehan Omnibus Law RUU Ciptaker. Pasal 71 UU Sisdiknas yang berpotensi mengkriminalisasi Pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan malah dipertahankan, tetapi Pasal yang memberikan sanksi terkait ijazah palsu justru dihapuskan,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Hidayat, melalui RUU Ciptaker ini para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah palsu atau pemberi gelar akademik dikuatkan sanksi pidananya, dan penyelenggara Pesantren didukung dan tidak malah dibuka celah hukum untuk dikriminalisasi.
(ameera/arrahmah.com)