JAKARTA (Arrahmah.com) – Kasus pembakaran pesantren Syi’ah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Karang Penang, Sampang, Madura harus ditelusuri dengan jelas, apakah itu konflik agama atau konflik antar-warga. Apalagi pembakaran bukan prinsip yang diajarkan dalam Islam.
“Perlu diteliti sejauh apa masalahnya. Apa memang karena Sunni-Syi’ah atau memang karena karakter masyarakat Madura yang cukup temperamental? Apalagi terkait dengan masalah carok yang banyak terjadi di sana. Tapi apa pun, Islam mendapatkan ujian lagi, karena pada hakikatnya, Islam tidak mengajarkan prinsip sampai pembakaran orang lain, membakar sekolah. Itu bukan prinsip yang diajarkan Islam,” jelas mantan Ketua MPR, Hidayat Nurwahid.
Hal itu disampaikan Hidayat di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/12/2011). Hidayat menambahkan Islam juga tidak mengajarkan membuat masyarakat marah dengan mencaci-maki tokoh yang dihormati orang lain.
“Sebaiknya kedua belah pihak introspeksi,” jelasnya.
Hidayat menambahkan penyerangan musala dan rumah kelompok Syi’ah di Madura ini baru terjadi pertama kalinya, di mana masyarakatnya demikian kuat dalam agama. Masyarakat Madura, imbuhnya, rata-rata adalah pengagum Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini juga merupakan pekerjaan rumah NU untuk mengajarkan pada pengikutnya mengenai perbedaan pendapat.
“Ini juga jadi PR bagi Said Aqil (Ketua PBNU Said Aqil Siradj) untuk bagaimana meyakinkan warganya ketika terjadi perbedaan pendapat. Al sunnah wal jamaah sendiri merupakan pihak yang menghormati prinsip kesunahan, hak yang baik, komunitas yang kuat dan besar. Ternyata sampai seperti itu, penting juga untuk diteliti apa masalahnya. Apakah memang masalah Sunni-Syi’ah atau konflik antar warga. Itu yang perlu diteliti dengan maksimal,” tambahnya.
Yang pasti, konflik ini bukan hanya domain agama. Bila menyangkut masalah kekerasan, apalagi dengan bakar membakar, maka domainnya adalah domain keamanan, dan pendidikan.
“Tugas pemerintah dan para ulama untuk membimbing warganya untuk menjelaskan dengan baik apa makna sunnah apa makna berjamaah apa makna berislam dengan baik dan menghadirkan masyarakat yang baik. Masalah ini dimensinya luas dan saya harapkan bisa diselesaikan agar kita dapat meninggalkan 2011 dengan aman dan tenteram,” kata dia seperti dilansir dakwatuna.com.
Menurut hukum Indonesia tidak dibenarkan setiap warga negara main hakim sendiri dalam memutuskan hukum kepada seseorang ataupun kelompok yang menurutnya salah. Apalagi sampai menyerang dan membakar fasilitas yang dimiliki pihak tertentu, apapun alasannya pihak keamanan Indonesia, akan mempidanakan persoalan tersebut.
Begitu pula di dalam pemerintahan Islam atau khilafah Islamiyah yang menegakkan hukum Allah, setiap persoalan hukum akan diselesaikan oleh penguasa melalui mahkamah syari’ah. Namun, sangat disayangkan dalam menimbang nilai-nilai Islam Hidayat Nur Wahid solah-olah meniadakan sama sekali prinsip sikap keras (asyidda’u alal kuffar ruhama’u bainahum) Islam terhadap orang-orang murtad dan para perusak aqidah.
Walaupun hukum ini tidak bisa dijalankan dan tidak dibenarkan dilakukan tanpa adanya penguasa kaum muslimin (daulah islamiyah dan ulil amri). Akan tetapi, demi memelihara kemurnian risalah Islam, kita akan tetap menjelaskan apa dan bagaimana status orang-orang murtad dan perusak aqidah dalam timbangan islam.
Dalam menyampaikan kebenaran dan menyadarkan kelompok-kelompok sesat, di dalam Islam mempunyai beberapa tahapan. Di antaranya adalah disampaikannya hujjah agar kelompok tersebut menyadari kesalahan dan penyimpangan yang mereka lakukan.
Hal ini, pernah dilakukan oleh sahabat Ibnu Abbas RA ketika diutus oleh Ali bin Abi Tholib untuk menyadarkan kaum Khowarij yang telah melakukan penyimpangan dalam masalah vonis kekafiran.
Penyampaian hujjah berlanjut, hingga dimintanya istitabah (diminta bertaubat) kepada mereka, sehingga mereka mau kembali ke dalam ajaran Islam yang lurus selama 3 hari oleh qadhi setempat.
Jika, dalam waktu tiga hari mereka tidak mau bertaubat, maka mereka akan dibunuh oleh penguasa kaum muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata:
“Telah tetap dalam sunnah bahwa hukuman orang murtad lebih besar daripada orang kafir asli ditinjau dari beberapa sisi, di antaranya karena orang murtad hukumannya adalah dibunuh, apapun kondisinya, tidak diperlakukan jizyah dan tidak ada jaminan keamanan baginya, lain halnya dengan orang kafir asli. Demikian juga, orang murtad tetap dihukum bunuh meskipun ia tidak memiliki kemampuan untuk berperang, sedangkan orang kafir asli tidak dibunuh kalau ia bukan termasuk pasukan perang.
Menurut pendapat kebanyakan ulama, orang kafir asli yang bukan ahli perang tidak boleh dibunuh, di antaranya menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.
Oleh karena itu, hukuman orang murtad adalah dibunuh sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad.
Sisi lain, orang murtad itu tidak berhak mewarisi, tidak boleh dinikahkan (dengan orang Islam) dan tidak boleh dimakan sembelihannya, lain halnya dengan kafir asli.
Dan masih banyak lagi hukum-hukum yang terkait dengannya.” (Majmu’ Fatawa (28/534)
Lantas bagaimana dengan status keimanan kaum syiah rafidhoh?, seperti yang telah dijelaskan dan disepakati oleh para ulama yaitu Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i, Al-Bukhari, Abu Hamid Muhammad Al-Muqaddasi, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah dll. Telah menyatakan Syi’ah rafidhah bukan Islam dan telah kafir. (Lihat: 17 alasan ulama Islam mengkafirkan kaum Syi’ah)
Bahkan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah membakar orang-orang yang berlebihan terhadap dirinya dengan api. Ibnu Abbas juga sepakat membunuh mereka akan tetapi dengan cara dipenggal bukan dibakar.
Dan Ali bin Abi Thalib pun ketika itu ingin membunuh Abdullah bin Saba’, gembong ghulah (pendiri syi’ah rafidhah) akan tetapi ia lari dan bersembunyi.
(Diterjemahkan dari Kitabut Tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Hal.71-73 cetakan I Maktabah Ibnu ‘Abbas)
Sehingga jika menilik pernyataan Hidayat Nur Wahid tersebut dalam pandangan Islam, sangat keliru, jika Islam hanya mengedepankan dialog saja. Islam justru bersikap keras terhadap penodaan aqidah oleh individu ataupun kelompok-kelompok sesat. Jika pemerintahan Islam berdiri maka kelompok-kelompok sesat akan dihukum sesuai aturan yang berlaku.
Wallahu a’lam bisshowab.
(bilal/arrahmah)