JAKARTA (Arrahmah.id) – Anggota Komisi VIII sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk tegas menolak dan melarang rencana pertemuan aktivis LGBT se-Asia Tenggara dalam ‘Queer Advocacy Week’ yang akan dilaksanakan oleh ASEAN Sogie Caucus di Jakarta.
Hidayat mengungkapkan, hal ini juga sejalan dengan aspirasi penolakan yang telah disampaikan secara konstitusional oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui beberapa tokohnya yakni Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas (Pimpinan Muhammadiyah) dan Ketua MUI Bidang Dakwah Cholil Nafis (pimpinan NU) dan juga aspirasi penolakan konstitusional oleh pimpinan organisasi Perempuan Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia (BMIWI), bahkan juga oleh Gerakan Indonesia Beradab.
HNW, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa kalau aktivis LGBT berdalih pemenuhan HAM, maka konstitusi yang berlaku di Indonesia yaitu UUDNRI mengatur bahwa HAM di Indonesia bukanlah HAM liberal sebagaimana diberlakukan di beberapa negara barat.
HAM yang diakui konstitusi di Indonesia adalah HAM yang tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh UU, dan harus sejalan dengan nilai-nilai Agama yang diakui di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana tertuang Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
“Karenanya LGBT dengan segala penyimpangannya itu bukan bagian dari HAM yang diakui di Indonesia karena tak sesuai dengan sistem ideologi dan hukum serta Agama yang diakui di Indonesia. LGBT itu tak sesuai dengan Pancasila (terutama sila 1) dan tidak sesuai dengan UUDNRI 1945,” ujarnya melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu (12/07).
Selain itu, lanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah juga sudah mulai tegas mengatur tindakan hukum atas laku menyimpang hubungan sesama jenis, dengan melarang pencabulan sesama jenis sebagai tindak pidana kesusilaan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 414 KUHP yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. Di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;
b. Secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau
c. Yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
“Dan apalagi semua Agama yang diakui di Indonesia juga tidak membenarkan penyimpangan oleh kaum LGBT itu, apalagi mempropagandakan penyimpangan moral, etika dan hukum itu. Ketentuan Pancasila, UUDNRI 1945, serta UU KUHP ini penting jadi pegangan bersama oleh Pemerintah, DPR dan Rakyat Indonesia untuk menolak LGBT dan berbagai agenda propagandanya, justru dalam rangka konsistensi mengamalkan Pancasila, UUDNRI 1945 serta aturan hukum yang berlaku di Indonesia, dan menghormati ajaran Agama yang diakui di Indonesia,” paparnya.
Bahwa dengan fakta-fakta konstitusional tersebut, lanjut HNW, pemerintah Indonesia perlu bergerak lebih konkret untuk mengatasi masalah yang meresahkan masyarakat Indonesia ini, walau telah dikabarkan bahwa pertemuan aktifis LGBT di Jakarta tersebut sudah dibatalkan.
“Pemerintah penting memastikan bahwa rencana pertemuan aktivis LGBT se-ASEAN di Jakarta itu tersebut benar-benar dibatalkan dan tidak terlaksana, bukan karena ancaman, melainkan karena agenda mereka bertentangan dengan Pancasila dan sistem hukum yang berlaku di negara hukum Indonesia. Jangan di tingkat publik seolah-olah dibatalkan, tapi secara diam-diam ternyata tetap dibiarkan dan dilaksanakan.”
“Apalagi Organisasi dan Para penggagas pertemuan aktivis LGBT se ASEAN dengan rencana akan menyelenggarakan kegiatan mereka di Jakarta Indonesia, jelas tidak toleran dan tidak menghormati Pancasila, Konstitusi serta Hukum yang berlaku, juga Agama yang diakui di Indonesia. Seharusnya lah bila Pemerintah tegas menolak dan tidak mengizinkan mereka beraktivitas di wilayah hukum Indonesia. Sekalipun penolakan-penolakan itu berlaku tanpa ancaman tapi berdasarkan hak konstitusional, tetapi sekarang ini masyarakat Indonesia sudah masuk di tahun politik. Jangan sampai rencana pertemuan aktivis LGBT se ASEAN yang akan diselenggarakan di Jakarta, justru menambah keresahan dan ketegangan sosial hal yang tidak kondusif menuju sukses Pemilu 2024,” jelasnya.
HNW juga berharap Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dan selaku Ketua ASEAN pada 2023 ini membahas isu ini dalam pertemuan-pertemuan tinggi di ASEAN, karena faktanya penolakan dan kekhawatiran merebaknya LGBT ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga beberapa negara anggota ASEAN lainnya.
“Jadi, sangat penting untuk bekerja sama. Apalagi, rencana pertemuan LGBT se-ASEAN di Jakarta itu seakan dibuat bersamaan waktunya dengan pertemuan para menteri ASEAN di Jakarta,” lanjutnya.
Langkah yang Indonesia dan ASEAN bisa lakukan antara lain mempersoalkan secara hukum organisasi ASEAN Sogie Caucus yang kabarnya terdaftar sebagai badan hukum di Filipina. Ia berpendapat bahwa organisasi tersebut telah mencatut nama besar ASEAN, sebagai organisasi kawasan yang didirikan oleh negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“ASEAN itu didirikan untuk menciptakan kestabilan kawasan dan mendorong kerja sama ekonomi demi kesejahteraan rakyatnya, bukan justru digunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang yang bisa menimbulkan ketidakstabilan hal yang tidak sesuai dengan piagam dan tujuan pendirian ASEAN. Apalagi secara terbuka LGBT ditolak oleh masyarakat di sebagian besar negara Anggota ASEAN,” tegasnya.
Sedangkan, dalam konteks nasional, HNW mengingatkan dan mengajak pemerintah dan DPR untuk segera membahas RUU tentang Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual. RUU ini telah ditetapkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang atas usulan DPR melalui Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS).
“RUU ini harusnya segera dihadirkan agar Pancasila dan UUDNRI 1945 serta UU KUHP benar-benar dilaksanakan, agar masa depan Indonesia dengan bonus demografinya bisa diselamatkan,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)