JAKARTA (Arrahmah.com) – Kebijakan impor beras sebesar 500.000 ton diawal tahun ini yang disampaikan oleh menteri perdagangan, Enggartiasto Lukita menuai polemik. Perhatian publik menjadi ramai karena impor beras adalah langkah yang kontraproduktif jika dibandingkan dengan janji menteri pertanian untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada beras dalam tempo setidaknya 3 (tiga) tahun menjabat sebagai menteri pertanian.
Menurut Presiden Indonesia Jokowi, Tiga tahun lagi, minimal ada swasembada beras. “Kalau tidak, Menteri Pertanian saya copot. Tapi saya yakin target ini bisa tercapai,” kata Jokowi saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa, 9 Desember 2014.
Atas polemik impor beras ini, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) pun angkat suara. Dalam keterangan pers, Ketua Umum HMPI, Andi Fajar Asti, M.Sc menyebut menteri pertanian, Amran Sulaeman belum mampu membuktikan janjinya, bahkan selalu mengklain sukses menjalankan program swasembada dan membanggakan diri di beberapa pertemuan termasuk saat kunjungan kerja November 2017 di Maros- Sulawesi Selatan bahwa Indonesia akan menjadi negara swasembada dan pengekspor beras kenegara lain.
Bahkan, Lanjut Andi, mentan dengan lantang mengatakan bahwa Indonesia akan di kunjungi negara luar untuk belajar tentang swasembada beras.
“Nah, hadirnya kebijakan impor beras diawal tahun menjadi kado pahit ditengah pelbagai klaim kesuksesan menteri pertanian tersebut,” ujar Andi.
Yang paling disayangkan, kata Andi, adalah ketika publik mempertanyakan kebijakan impor dan menaruh curiga ada permainan dibalik kebijakan ini adalah hal yang sangat wajar. Betapa tidak, pelbagai klarifikasi dan manuver yang dilakukan oleh menteri pertanian, Amran Sulaeman dalam merespon situasi menimbulkan kekecewaan.
Andi membeberkan beberapa kejanggalan terkait kebijakan impor beras ini.
Pertama, menteri pertanian merespon bahwa kebijakan impor adalah bentuk kecintaan pemerintah terhadap rakyatnya. Bahasa ini menunjukkan ketidak seriusan menteri pertanian mengurus pertanian dan tentu sangat mengecewakan karena impor beras secara psikologis meragukan kemampuan petani kita sebagai “produsen” terdepan. Karena faktanya, justru stok beras menurut petani masih sangat memadai. Ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menolak Impor beras termasuk Sulawesi Selatan.
Kedua, menteri pertanian mengatakan bahwa impor beras ini adalah untuk stok kebutuhan industri bukan untuk konsumsi. Padahal dikesempatan lain terlanjur mengatakan bahwa impor 500.000 ton adalah untuk konsumsi selama 7 (tujuh) hari saja. Ini adalah sikap seorang menteri pertanian yang tidak konsisten dan kelihatan sangat miskin data.
Ketiga, upaya klarifikasi yang dilakukan oleh menteri perdagangan dengan “pengawalan” dari BPS dan Bulog adalah bentuk kepanikan yang luar biasa atas respon publik yang mencurigai ada permainan antara importir dengan pemerintah.
Karena proses impor diawal menteri perdagangan tidak menyebutkan akan melibatkan Bulog. Padahal secara aturan, Buloglah yang sangat relevan atas kebijakan ini. Kehadiran BPS dan Bulog adalah upaya untuk melegitimasi kebijakan yang terlanjur “off side”.
Keempat, impor dengan alasan kekurangan stok beras adalah bentuk ketidakberesan menteri pertanian merapikan produksi Gabah Kering Giling (GKG).
Dari hitung-hitungan matematisnya, jelas Andi, bukankah dengan luas lahan persawahan kita yang mencapai 16 juta hektar (menurut BPS) adalah hal yang sangat mudah untuk memproduksi GKG demi menutupi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia. Karena cukup memaksimalkan produksi 5 – 6 ton GKG perhektar saja, maka kebutuhan beras untuk lebih kurang 1 (satu) liter beras setiap penduduk Indonesia perharinya dapat diwujudkan dan itu sudah lebih dari cukup.
Dengan demikian, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan sebaiknya saling koordinasi dan berbicara dengan data yang jelas dalam mengeluarkan kebijakan.
Jika tidak, tandas Andi, miskinnya data dan ketidakakuratan data menteri akan merusak sistem pengelolaan negara ini.
“Juga wajib menteri pertanian dan menteri perdagangan saling koordinasi agar tidak kelihatan jalan sendiri-sendiri. Dan yang terpenting dalam pengambilan kebijakan adalah menteri boleh salah tapi tidak boleh bohong,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)