JENEWA (Reuters) – Muslim Rohingya terus melarikan diri dari negara bagian Rakhine Myanmar, banyak yang bersaksi tentang kekerasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembakaran rumah mereka oleh tentara dan Buddha, kata kepala hak asasi manusia PBB pada Rabu (4/7/2018).
Zeid Ra’ad al-Hussein, dalam pernyataan terakhirnya kepada Dewan Hak Asasi Manusia sebelum mengundurkan diri pada 31 Agustus, mempertanyakan pernyataan para pejabat tinggi Myanmar bahwa pemerintah mereka berkomitmen untuk membela hak semua orang, bukan hanya satu komunitas.
“Selama empat tahun saya menjalankan tugas sebagai Komisaris Tinggi saya telah mendengar banyak klaim yang tidak masuk akal. Klaim itu hampir masuk kategori absurditasnya sendiri,” kata Zeid. “Apakah anda tidak malu? Apa kamu tidak malu? Kami bukan orang bodoh.”
Pejabat Myanmar, Kyaw Moe Tun, direktur jenderal kementerian luar negerinya, tidak membalas komentar Zeid yang menutup perdebatan dua jam tersebut. Setelah sesi itu dia tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar.
Sebelumnya, Kyaw mengatakan selama perdebatan bahwa laporan Zeid mengandung informasi yang “terdistorsi atau dibesar-besarkan”. Dia menyalahkan kekerasan pada gerilwayan yang menyerang pasukan pemerintah Myanmar.
“Akar penyebab tragedi itu adalah ‘terorisme’ dan ‘terorisme’ tidak bisa dimaafkan dalam keadaan apa pun,” kata Kyaw.
Selama tahun ini, 11.432 warga Rohingya telah mencapai Bangladesh, tempat lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri sejak penindasan militer pada bulan Agustus di negara bagian utara Rakhine di Myanmar, kata Zeid.
“Tidak ada retorika yang dapat menutupi fakta-fakta ini. Orang-orang masih melarikan diri dari penganiayaan di Rakhine – dan bahkan bersedia mengambil risiko mati di tengah laut untuk melarikan diri,” katanya.
Banyak pengungsi Rohingya juga melaporkan bahwa mereka ditekan oleh otoritas Myanmar untuk menerima kartu verifikasi nasional untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan, tambahnya.
Masalah kewarganegaraan merupakan inti dari diskusi tentang status mereka, Zeid mengatakan, menambahkan bahwa kartu-kartu itu “menandai Rohingya sebagai non-warga negara, sesuai dengan karakterisasi pemerintah sebagai orang asing di tanah air mereka sendiri”.
Pihak berwenang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menyangkal melakukan pelanggaran hak asasi manusia skala besar, yang oleh PBB digambarkan sebagai pembersihan etnis. Pihak berwenang mengatakan tindakan keras militer di Rakhine adalah tanggapan yang diperlukan untuk kekerasan yang dilakukan kelompok Pasukan Penyelamatan Arakan Rohingya (ARSA), yang menyerang pos keamanan Myanmar.
Kyaw mengatakan prioritas utama pemerintahnya adalah menemukan “solusi berkelanjutan” di Rakhine. Myanmar telah membuat kesepakatan bersama Bangladesh pada Januari 2018 bahwa repatriasi pengungsi akan selesai dalam waktu dua tahun, katanya. (Althaf/arrahmah.com)