JALUR GAZA (Arrahmah.com) – Di saat dunia tengah disibukan dengan wabah virus corona yang telah menginfeksi masyarakat di 152 negara dan menewaskan 8.900 orang, Jalur Gaza seakan tidak terjamah virus tersebut.
Dilansir Al Jazeera pada Kamis (19/3/2020), tidak ada infeksi yang terdeteksi di Jalur Gaza, yang dihuni sekitar dua juta orang dan terkurung dalam blokade “Israel”-Mesir yang masih berlangsung hingga kini.
Blokade, yang diberlakukan setelah sejak tahun 2007, pada dasarnya telah memutuskan daerah itu dari seluruh dunia.
Tidak ada turis yang dapat berkunjung ke Gaza karena “Israel” dan Mesir telah menutup perbatasan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara mencabut beberapa pembatasan perjalanan, memungkinkan lebih banyak warga Palestina di Gaza untuk keluar, biasanya dengan alasan kemanusiaan dan setelah proses panjang untuk mendapatkan izin yang sulit diperoleh.
Tetapi ketika virus corona menyebar di negara tetangga Mesir dan “Israel”, pemerintah yang dipimpin oleh Hamas menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat, mengingat terbatasnya fasilitas kesehatan dan obat-obatan di Gaza.
Siapapun yang memasuki Jalur Gaza, maka akan dikarantina di sebuah sekolah yang berada di dekat perbatasan Rafah di Gaza selatan.
Blokade dan serangkaian serangan yang dilancarkan oleh “Israel” selama 12 tahun terakhir telah membuat fasilitas kesehatan di Gaza kewalahan dan kekurangan sumber daya, ungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Sistem kesehatan tidak akan mampu menangani ratusan atau ribuan kasus, jadi hal terbaik di sini adalah tidak adanya penyakit (COVID-19),” Abdelnasser Soboh, direktur WHO di Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera.
Soboh mengatakan tidak ada pakaian pelindung yang cukup untuk pekerja medis atau peralatan perawatan intensif dan ventilator, padahal semua alat tersebut sangat penting untuk memerangi wabah yang berasal dari kota Wuhan tersebut.
Hanya ada 62 alat ventilasi di seluruh Gaza, lebih dari dua pertiganya sudah digunakan oleh pasien lain. Sedangkan untuk mendeteksi virus corona, hanya ada dua alat tes, cukup untuk memeriksa 190 orang, kata Soboh.
“Tidak ada dana untuk membeli peralatan, dan jika uang tersedia, ada kelangkaan global yang tengah terjadi,” imbuhnya. (rafa/arrahmah.com)