(Arrahmah.com) – Kasus pernikahan Jonas Rivanno dan Asmirandah sempat mengundang perhatian publik. Pasalnya beberapa saat setelah berlangsung penikahan Jonas melalui media membuat pernyataan yang mengejutkan. Pernyataan itu adalah bahwa ia mengaku tak pernah masuk Islam.
Kontan keluarga Asmiranda yang Muslim kaget. Karena sebelum acara pernikahan berlangsung Jonas Rivanno yang semula beragama Kristen lebih dulu mengucapkan ikrar syahadatain salah satu syarat seseorang masuk Islam.
Prosesi sakral pengucapan syahadatain oleh Jonas Rivanno itu disaksikan oleh keluarga Asmirada dan seorang ustadaz. Acara yang sakral itu juga diabadikan tak hanya dalam bentuk foto tapi juga dengan disyuting video.
Pernyataan Jonas Rivanno bahwa ia tak pernah masuk Islam bukanlah pernyataan yang biasa dan remeh temeh yang hanya dapat dibatalkan dan dicabut dengan menyampaikan permintaan maaf.
Pernyataan Rivano itu, juga tak cukup dengan mengugurkan akad nikah yang telah berlangsung antara Asmiranda-dengan Rivano, karena mereka berbeda agama, setelah mengatakan bahwa ia tak pernah masuk Islam. Yang dipersoalkan adalah penghinaan terhadap lembaga pernikahan dan penistaan terhadaap Islam.
Pernyataan Rovano sangat jelas jelas bahwa itu adalah penghinahan terhadap lembaga pernikahan. Dan yang lebih serius adalah penghinaan terhadap Islam. Dikatakan sebagai penghinaan karena dengan hanya berpura-pura masuk Islam sudah bisa menikahi gadis Islam. Lalu setelah menikah dengan mudah ia berbalik dan kembali kepada agamanya yang semula.
Atas sikapnya itu, Jonas tak cukup dengan minta maaf. Tindakannya itu harus ditindaklanjuti dengan gugatan ke pengadilan. Karena ia telah nyata-nyata melakukan penistaan terhadap Islam. Harus ada lembaga Islam yang menggugat Jonas ke pengadilan karena ia telah menghina dan menista Islam dengan berpua-pura masuk Islam.
Jika kasus ini tak ditindaklanjuti hingga ke pengadilan, maka orang seperti Rivano akan mudah begitu saja menyatakan Islam hanya karena ingin menikahi gadis Islam kemudian kembali murtad. Dalam Islam ketentuan terhadap orang murtad harus dibunuh.
Tak mustahil ada ribuan kasus serupa yang dialami Muslimah. Boleh jadi banyak yang akhirnya muslimah yang dinikahi itu diajak murtad oleh orang-orang yang hanya berpura-pura masuk Islam kemudian murtad.
Kasus seperti ini harus dihentikan. Umat Islam harus bersama-sama menjaga kehormatan Islam dengan melayangkan gugatan ke pengadilan jika ada orang yang melakukan penghinaan terhadap islam dengan cara berpura-pura masuk Islam.
Para ulama dan asatidz, harus bersatu bersama umat Islam untuk melakukan gugatan kepengadilan atas tindakan Jonas Rivano yang telah terbukti melecehkan dan menghina Islam.
Berikut ini adalah salinan fatwa beberapa Ulama Ahlus Sunnah tentang: “Hukum menikah dengan non Muslim”
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim
Kasus Pernikahan seorang Muslimah yang menimpa artis Asmirandah dan Jonas Rivanno yang plin plan dalam agamanya membuat kita umat Islam binggung dan bagaimana sich hukumnya menikah dengan Non Muslim bukankah Alloh telah menjelaskan bahwa menikah itu harus dengan yang seaqidah sebagaimana bunyi ayat ini:
“Perempuan-perempuan bermoral buruk hanya patut menjadi isteri bagi laki-laki bermoral buruk. Laki-laki bermoral burukhanya patut menjadi suami bagi perempuan-perempuan bermoral buruk )”. (Terjemah QS. An Nuur : 26).
Di antara masalah yang membuat miris hati kaum Muslimin yang konsisten dengan ajaran Islam, banyaknya orang yang menikah dengan pasangan yang berbeda aqidah tanpa mengindahkan larangan dan aturan agama. Oleh sebab itu, masalah tersebut perlu dibahas dengan merujuk kepada Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam dengan penjelasan para ulama.
Muslimah menikah dengan laki-laki non muslim
Tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrikin (Budha, Hindu, Majusi, Shinto, Konghucu, Penyembah kuburan dan lain-lain) ataupun dari kalangan orang-orang murtad dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani). Hal ini berdasarkan firman Alloh
“Wahai orang-orang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepada kalian untuk hijrah, maka hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah Maha Mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan perempuan-perempuan mukmin itu kepada suami-suami mereka yang kafir. Perempuan-permpuan mukmin itu tidak lagi halal bagi laki-laki kafir itu dan laki-laki kafir itu tidak halal bagi permpuan-perempuan mukmin.” (Al Mumtahanah: 10)
Di dalam ayat ini, sangat jelas sekali Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir. Dan di antara hikmah pengharaman ini adalah bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan sesungguhnya laki-laki itu memilki hak qawamah (pengendalian) atas istrinya dan si istri itu wajib mentaatinya di dalam perintah yang ma’ruf. Hal ini berarti mengandung makna perwalian dan kekuasaan atas wanita, sedangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kekuasaan bagi orang kafir terhadap orang muslim atau muslimah. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan kebenaran hujjah orang-orang mu’min.” (An Nisaa: 141).
Kemudian suami yang kafir itu tidak mengakui akan agama wanita muslimah, bahkan dia itu mendustakan Kitabnya, mengingkari Rasulnya dan tidak mungkin rumah tangga bisa damai dan kehidupan bisa terus berlangsung bila disertai perbedaan yang sangat mendasar ini.
Dan di antara dalil yang mengharamkan pernikahan ini adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala ,
“Dan jangalah kalian menikahkan permpuan-perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik sampai mereka beriman.” (Al Baqarah: 221).
Di dalam ayat ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nashrani dan orang yang murtad dari Islam.
Ibnu Katsir Asy Syafi’iy rahimahullah berkata, “Janganlah menikahkan wanita-wanita muslimat dengan orang-orang musyrik.”
Al Imam Al Qurthubiy rahimahullah berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan Umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mu’minah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap Islam.”
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir.
Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlaq, baik Ahlul Kitab ataupun bukan.”
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata, “Laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah,” berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala, “Dan jangalah kalian menikahkan permpuan-perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik sampai mereka beriman.” (Al Baqarah: 221).
Jelaslah bahwa pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non muslim itu adalah haram, tidak sah dan bathil.
Muslim menikah dengan wanita-wanita non muslim.
Sebagaimana wanita muslimah haram dinikahi oleh laki-laki non muslim, begitu juga laki-laki muslim haram menikah dengan wanita non Islam, berdasarkan Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (QS.Al Baqarah: 221).
Ayat ini secara umum menerangkan keharaman laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik (kafir), meskipun ada ayat yang mengecualikan darinya, yakni untuk wanita ahlu kitab, yang akan kita bahas nanti. Tidak boleh seorang muslim menikahi wanita Budha, Hindu, Konghucu, Shinto, wanita yang murtad dari Islam. Dan jika seorang laki-laki kafir masuk Islam sedangkan istrinya tidak atau bila si istri murtad dari Islam, maka dia harus melepaskannya, berdasar-kan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir.” (QS. Al Mumtahanah: 10).
Di dalam hal ini, sama saja baik wanita itu murtad masuk agama Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) atau agama lainnya atau tidak masuk agama mana-mana atau dia itu tidak shalat, tetap pernikahannya lepas, karena Islam tidak mengakui statusnya saat masuk agama barunya, berbeda kalau memang dia dari awalnya termasuk Ahlul Kitab, maka hal ini memiliki hukum tersendiri.
Namun dari keharaman menikahi wanita kafir ini dikecualikan terhadap wanita dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) yang memang sejak awal dia memeluk agama ini, bukan karena murtad, ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yang didasarkan pada Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala ,
“Perempuan-perempuan mukmin dan permpuan-perempuan Yahudi dan Nasrani yang menjaga kehormatannya dihalalkan untuk kalian jadikan isteri dengan memberikan maskawin kepada mereka bukan untuk dizinai dan untuk dijadikan gundik.” (QS. Al Maidah: 5)
Namun demikian, para ulama menganggap makruh pernikahan Muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Umar Ibnu Al Khaththab Radhiallaahu anhu pernah memerintahkan Hudzaifah agar melepas istrinya yang beragama Yahudi, beliau berkata, “Saya tidak mengklaim itu haram, namun saya khawatir kalian mendapatkan wanita-wanita pezina dari mereka.”
Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berpendapat, haram hukumnya menikahi wanita Ahlul Kitab. Beliau berkata saat ditanya tentang laki-laki Muslim menikahi wanita Yahudi atau Nashrani, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik atas kaum muslimin dan saya tidak mengetahui sesuatu dari syirik yang lebih dahsyat dari perkataan wanita, bahwa Tuhannya adalah Isa, atau hamba dari hamba Alloh Subhanahu wa Ta’ala.”
Namun sebenarnya ada perbedaan antara syiriknya orang-orang musyrik dengan syiriknya Ahlul Kitab, yaitu kemusy-rikan di dalam keyakinan orang musyrik adalah asli (pokok) ajaran mereka, sedangkan syirik pada Ahlul Kitab adalah bid’ah di dalam agama mereka, ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh.
Dan perlu diingat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab, jika wanita itu wanita yang selalu menjaga kehormatannya, selain mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya. Selanjutnya kita patut bertanya, “Adakah wanita ahlul kitab yang mampu menjaga kehormatannya?” Realitas menunjuk-kan, wanita-wanita muslim pun banyak yang tak sanggup menjaga kehormatan diri mereka, yang di antaranya disebabkan oleh profokasi wanita ahlul kitab. Yang terpengaruh sudah begitu parah keadaannya, bagaimana lagi yang mempengaruhi (yang merupakan sumber kehinaan diri). Untuk itu, setiap muslim dituntut agar bersikap selektif dan waspada demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, apalagi dalam hal yang menyangkut keselamatan akidah dan masa depan Islam dan kaum muslimin. Wa Allahu A’lam.
Muhammad Faisal, S.Pd, M.MPd/aktivis anti pemurtadan dan aliran sesat.
Sumber dari buku Menikah dengan Non Muslim, penulis: Syaikh Hasan Khalid, Terbitan: Pustaka Al-Sofwa, Lenteng Agung- Jakarta, 2004M, dll.
(azm/arrahmah.com)